Senin 06 Aug 2012 12:03 WIB

Mengikuti Jalan Al-Haq

Seorang pria membaca kitab suci Alquran usai melaksanakan ibadah Shalat Dzuhur di Masjid Istiqlal, Jakarta, Senin (23/7). (Agung Supriyanto/Republika)
Seorang pria membaca kitab suci Alquran usai melaksanakan ibadah Shalat Dzuhur di Masjid Istiqlal, Jakarta, Senin (23/7). (Agung Supriyanto/Republika)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Slamet Effendy Yusuf

Dalam Alquran, kata al-haq merujuk kepada dua hal. Pertama, sebagai salah satu asma Allah, yang bermakna Yang Mahabenar. Dan kedua, kata tersebut memiliki arti yang sama dengan al-shidq atau al-Sowab yang bermakna “yang benar”, dan memiliki lawan kata al-bathil (yang salah).

Allah sebagai Yang Mahabenar meneguhkan bahwa Dia adalah Kebenaran Mutlak. Allah Mahabenar berarti Dia tidak akan pernah salah. Karena itu, maka segala yang difirmankan adalah kebenaran. Semua yang diciptakan adalah kesahihan dan kemanfaatan, bukan kesia-siaan. Dialah Mahabenar, yang menghidupkan segala yang mati dan berkuasa atas segala sesuatu. (QS al-Hajj: 6).

Al-haq yang berarti “yang benar”, lawan kata “yang salah”, selalu merujuk kepada Allah. Seperti dinyatakan QS Ali Imran [3]: 60, bahwasanya kebenaran itu datang dari Allah, karena itu kita tidak boleh ragu. (Lihat QS Luqman: 30, QS Yunus: 32).

Allah memberikan pengandaian antara “yang benar” dan “yang salah” seperti air dan buih yang mengambang. Buih akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya, sementara yang air yang memberi manfaat kepada manusia, ia akan tetap di Bumi. (QS al-Ra'du: 17). Yang benar dan yang salah tidak boleh dicampuradukkan (QS al-Baqarah: 42), karena “cahaya yang benar” (al-nur) tidak mungkin disatukan dengan “kegelapan yang salah” (al-zhulumat).

Bila kita mencermati banyak hal yang ada di sekeliling kita, ada beberapa catatan yang bisa kita berikan, khususnya berkaitan dengan bagaimana manusia memahami al-Haq.

Pertama, ada yang menganggap bahwa Yang Mahabenar bukanlah semata Tuhan. Melainkan ada uang (kuasa ekonomi), kekuasaan (kuasa politik), dan pengetahuan (kuasa ideologi).

Kedua, ada klaim kebenaran (truth claim) yang menutup segala dialog dan komunikasi. Kita saat ini menyaksikan adanya pihak yang merasa bahwa apa yang digagas atau apa yang ditafsirkannya sebagai sebuah kebenaran tunggal. Pihak lain yang memiliki pandangan lain dianggap sebagai “yang salah”, sementara dirinya adalah “yang benar”.

Dan ketiga, adanya politisasi agama dengan  menggunakan dalil-dalil agama sebagai pembenar atas opini dan tindakannya sendiri. Nash Alquran dan hadis dipaksa sebagai legitimasi bahkan untuk menyerang dan melakukan kekerasan kepada pihak lain.

Ketiga kecenderungan tersebut sesungguhnya menafikan Allah sebagai Yang Mahabenar dan Pemilik Kebenaran. Manusia diberi Alquran dan tanda-tanda alam, sebagai alat untuk makin mendekati Sang Kebenaran dan kebenaran firman-Nya.

Kebenaran mutlak, semata milik Allah. Karena itu, manusia senantiasa harus berendah hati dalam upaya yang terus-menerus mencari dan menggapai kebenaran. Manusia memang harus rendah hati, karena memang hanya Allah yang layak bermahkota  kesombongan (al-Mutakabbir).

Sebagai seorang Muslim kita mesti meyakini kebenaran akidah yang diajarkan Alquran dan al-hadis. Namun, dalam waktu bersamaan, kita harus selalu terbuka, mau berkomunikasi dan berdialog dengan siapa pun, bahkan termasuk yang secara akidah  berbeda. Mengapa demikian? Karena kita diberikan anjuran untuk mengambil hikmah dari manapun (khudz al-hikmat min ayyi syain kharaja).

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement