REPUBLIKA.CO.ID, BANTUL -- Konsumsi masyarakat selama romadhon dan lebaran selalu meningkat secara signifikan. Bahkan berdasarkan penelitian singkat staf pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Ahmad Ma'ruf, peningkatan konsumsi rumah tangga selama Ramadhan dan lebaran meningkat hingga 45 persen.
"Itu hanya untuk pengeluaran pada rumah tangga kelompok miskin. Pengeluaran mereka sebulan di bulan puasa dan lebaran mencapai Rp 1,4 juta. Ini naik 45 persen dari pengeluaran mereka pada bulan biasa," terangnya dalam diskusi tentang konsumerisme di UMY, Rabu (15/8).
Pengeluaran masyarakat kata Ma'ruf, pada kelompok menengah atas semakin tinggi. Bahkan untuk kelompok menengah pengeluaran untuk konsumsi selama ramadhan dan lebaran mencapai Rp 5,5 juta/bulan. Kelompok inilah yang selama ini menjadi segmen yang menggiurkan bagi para produsen untuk menjual produk-produk lebaran.
Dengan perhitungan semacam itu dia memprediksikan perpuatan uang masyarakat untuk konsumsi selama ramadhan dan lebaran di Indonesia mencapai Rp 83 Trilyun. Perputaran uang ini merupakan perputaran uang yang sangat tinggi dalam kurun satu bulan. Karenanya menurut dia, lebaran bukan merupakan pesta masyarakat, namun justru pesta para pemodal yang bisa menjual berbagai produk lebaran.
Diakuinya, provokasi iklan terkait produk lebaran semakin menggenjot tinghkat konsumsi masyarakat. Ironisnya, masyarakat Indonesia menjadi konsumtif saat ramadhan dan lebaran dijadikan sebuah tradisi yang terus dipupuk. Kondisi ini dimanfaatkan oleh kaum pemodal untuk menggaet keuntungan secara maksimal.
Peningkatan mobilitas dengan adanya mudik lebaran semakin meningkatkan sifat konsumsi masyarakat ini. Hal ini juga dipicu dengan adanya kebijakan tunjangan hari raya (THR). Kondisi ini menurut Ma'ruf tidak bisa dibiarkan terus menerus. Harus ada pendidikan untuk masyarakat agar tidak menghabiskan dananya untuk konsumsi selama ramadhan dan lebaran.
"Harus diproteksi, harus diberi kesadaran bahwa Romadhon ini untuk kesalehan sosial. Ini bisa dilakukan dengan dakwah di Masjid-masjid dan ini peran para dai," terangnya.
Selain itu kata dia, dari sisi kebijakan, misalnya THR tidak diberikan dalam uang cash. Untuk meminimkan konsumerisme. Bisa diberikan dalam bentuk investa THR menurutnya bisa diberikan dalam bentuk emas maupun lainnya. "Ini bisa dilakukan tinggal bisa atau nggak. Atau diberikan saham dimana mereka bekerja di perusahaan itu," jelasnya.
Sementara itu sosiolog UMY, Zuly Qodir, peningkatan konsumsi masyarakat selama ramadhan dan lebaran juga dipicu dengan kemunculan dai selebriti. "Mereka bahkan terang-terangan mengiklankan sebuah produk tertentu. Ini haram hukumnya," tandasnya.
Menurutnya, masyarakat harusnya semakin kritis terhadap fenomena tersebut. Dan ini juga dibutuhkan peran media untuk tidak memfasilitasi hal itu