REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS -- Tentara asing membantu perjuangan tentara oposisi untuk menggulingkan rezim Presiden Bashar al-Assad. Di zona pertempuran Aleppo pejuang Arab dan Mesir bergabung bersama tentara pembebasan (FSA) untuk menguasai kota tersebut. Seorang tentara asing mengatakan kecewa dengan masyarakat Suriah yang tidak bergabung dengan oposisi dan mendukung penggulingan Assad.
Menurut mereka, tidak mudah menggulingkan rezim 12 tahun tersebut. ''Sebagaian banyak tentara di sini (Aleppo) memang orang Suriah. Tapi perang ini membawa pengaruh bagi kawasan, terutama mereka (negara) yang Sunni,'' kata seorang tentara, seperti dikutip Aljazeera, Kamis (23/8).
Dari Washington, militer Amerika Serikat (AS) sedang mempelajari desain invansi militer terhadap Suriah. Seorang pejabat di Pentagon mengatakan intensitas perang saudara yang meninggi di Damaskus, memungkinkan rezim untuk menggunakan senjata pemusnah massal (WMD).
Pejabat tersebut mengatakan, AS tidak memiliki keyakinan yang sempurna terhadap keamanan fasilitas WMD di Suriah. Untuk itu, kata dia pemantauan dan cara efektif akan menjawab kekhawatiran AS tersebut. ''Pasukan operasi khusus (SOF) kemungkinan memainkan peran (untuk pengamanan). Namun (invansi) militer konvensional dapat dilakukan dengan melihat situasi,'' kata pejabat tersebut, seperti dikutip kantor berita AFP, dan dilansir laman The Daily Star, Jumat (24/8).
Charles Blair dari Federasi Ilmuan Amerika mengatakan, langkah militer AS kali ini berbeda. Menurut dia, perencanaan militer AS selama ini menjadikan WMD sebagai alasan invansi. Tetapi konfrontasi militer dilakukan secara terbuka antar kedua negara, bukan melalui perang saudara. ''Ini hal baru, dan belum pernah terjadi (bagi AS), mengkhawatirkan WMD digunakan untuk perang saudara atau jatuh ke tangan tetangga (Lebanon),'' kata Blair.
Sementara itu, Menlu Prancis, Laurent Fabius, mengatakan dalam kutipan Reuters, Jumat (24/8), ''Biaya perang (Suriah) tidak kurang dari 1 miliar euro dalam sebulan, dan dia (Assad) mulai kehabisan sumber. Kami memperkirakan dia hanya bertahan beberapa bulan jika tanpa sokongan Rusia dan Iran.''