Selasa 04 Feb 2020 18:40 WIB

MUI: Kewajiban Sertifikasi Halal Sudah Jalan Meski Bertahap

Pencabutan wajib sertifikasi halal dalam omnibus law masih wacana.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Muhammad Hafil

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Pemberdayaan Ekonomi Umat, Lukmanul Hakim menuturkan, pencabutan wajib sertifikasi halal dalam Omnibus Law sebetulnya masih wacana dan belum ada keputusan finalnya. Dia menjelaskan, Undang-undang Jaminan Produk Halal (JPH) mengamanatkan mandatori sertifikasi.

Lukmanul menyadari, wacana pencabutan sertifikasi halal itu disimpulkan sebagian masyarakat seolah-olah mandatori sertifikasi halal ini direvisi atau bahkan dicabut. Dia pun mengimbau kepada masyarakat Muslim agar tidak khawatir, sebab kewajiban sertifikasi halal ini sudah berjalan meski secara bertahap.

Baca Juga

"Jadi sekarang untuk makanan dan minuman dulu," kata pria yang juga menjabat sebagai Staf Khusus Wapres RI itu kepada Republika.co.id, di kantor MUI, Jakarta, Selasa (4/2).

Lukmanul melanjutkan, pemerintah tetap berkomitmen memberi perlindungan terhadap konsumen muslim. Ia juga memaklumi jika ada masyarakat Muslim yang khawatir mandatori sertifikasi halal ini dicabut. MUI Pusat pun, kata dia, juga menyayangkan kalau mandatorinya dicabut.

"Tapi mandatori itu seperti apa kita juga belum mendengarkan secara gamblang yang diisukan itu. Kita belum mendengar dan melihat riilnya seperti apa," tutur Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI ini.

Bagi Lukmanul, yang terpenting adalah mandatori labelisasi. Jika mandatori ini diwajibkan maka sebetulnya tidak ada masalah. Mandatori labelisasi berarti bahwa halal-tidaknya tiap produk wajib diinformasikan kepada konsumen. Dengan begitu, masyarakat dapat mengetahui dan memilih apa yang seharusnya dikonsumsi.

"Jadi ada dua hal. Mandatori sertifikasi yang diikuti oleh mandatori labelisasi, yang berarti informasi halal. Misalnya di restoran itu jelas halal-tidaknya. Kan itu yang lebih mengena ke konsumen. Sertifikasi itu kan bagi produsen. Sedangkan konsumen ya informasinya kan," katanya.

Di dalam UU Jaminan Produk Halal, papar Lukmanul, memang sudah meliputi mandatori sertifikasi dan labelisasi. Namun, UU tersebut belum mencantumkan soal sanksi bagi yang tidak melakukan mandatori produk halal baik sertifikasi dan labelisasi. Jika ingin menguatkan mandatori sertifikasi dan labelisasi, maka seharusnya diatur mengenai sanksi. "Nah di situ tidak ada sanksi. Memang UU itu masih banyak bolongnya, sehingga masuk di Omnibus Law," tutur dia.

Lukmanul juga menyampaikan kaitan antara mandatori sertifikasi halal dan Usaha Mikro dan Kecil (UMK). Pembiayaan sertifikasi halal bagi UMK memang ditanggung pemerintah. Dia mengatakan, jumlah usaha UMK saat ini yakni 64 juta.

Dalam hitungan Lukmanul, dibutuhkan sekitar Rp 128 triliun untuk membiayai sertifikasi halal bagi kalangan UMK, dengan asumsi Rp 2 juta per sertifikat. Karena besarnya dana ini, maka mandatori sertifikasi halal pun dibuat dengan bertahap.

"Jadi bukan pencabutan total tapi secara gradual. Bagaimana implementasinya secara bertahap tapi unsur perlindungannya tidak boleh hilang. Meski bertahap, mandatori labelisasinya tidak boleh bertahap. Jadi yang sudah disertifikasi, yang belum, dan yang pasti haram, semua harus ada labelnya," ucap dia.

Saat ini, ungkap Lukmanul, masih dibahas soal solusi alternatif dalam konteks untuk melindungi konsumen terutama konsumen beragama Islam. Namun solusi itu harus dirancang agar pemerintah tidak terlalu dibebani biaya-biaya yang sifatnya konsumtif. Kalau pun ada subsidi pemerintah, sifatnya langsung menyentuh masyarakat.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...

The Best Mobile Banking

1 of 2
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement