REPUBLIKA.CO.ID, Di balik tangan lentik dan kelindaian Zaid bin Tsabit, sang “pencatat wahyu” menuliskan huruf demi huruf dan ayat demi ayat, terdapat sentuhan lembut penuh dedikasi dan kasih sayang dari ibundanya tercinta, An-Nawar binti Malik.
Ia mendidik Zaid dan menanamkan keislaman kepada buah hatinya itu bersama sang suami, Tsabit bin Zaid. Namun, keutuhan dan kebahagian keluarga kecil mereka tak berlangsung lama.
Pada usia lima tahun, ayahandanya gugur dalam Perang Bu’ats. Perang antara Suku Aus dan Khazraj yang terjadi sebelum peristiwa hijrah berlangsung tersebut, telah merenggut kasih sayang seorang ayah darinya.
Peristiwa ini pun menuntut An-Nawar berjuang seorang diri membesarkan dan mendidik anaknya. Ia tetap tegar mengantarkan anak tercintanya itu menuju kesuksesan.
Bekal kecerdasan dan kecintaan terhadap Islam An-Nawar menguatkan fondasi keimanan Zaid. Ibundanya itu berhasil memosisikan dirinya sebagai madrasah utama. Setapak demi setapak ia menancapkan ilmu ke dalam diri Zaid.
Alhasil, Zaid tumbuh sebagai pribadi yang matang dan berkualitas. Zaid tercatat sebagai pemuda pertama yang memeluk Islam. Ia cerdas dan jenius. Di usianya yang ke-11 tahun, keturunan Bani Khazraj ini mampu menghafal belasan Surah Alquran.
Daya ingatnya cukup kuat. Hanya dalam hitungan hari, tepatnya 17 hari, ia berhasil menguasi bahasa Suryani dan 15 hari untuk penguasaan bahasa Ibrani. Prestasi ini pun, menjadikannya didaulat sebagai sekretaris Rasulullah.
Sentuhan An-Nawar pun telah memoles mentalitas Zaid sebagai seorang Mukmin. Pada usia 13 tahun, Zaid mendaftarkan diri turutserta berperang di Perang Badar. Keberanian yang jarang dimiliki oleh bocah seusianya.