REPUBLIKA.CO.ID, Kisah tersebut membuatnya bertambah bingung.
“Sehingga saat itu saya sempat berpikir, mengapa Tuhannya orang Kristen membuat umatnya menjadi resah, hingga saya merasa kesulitan untuk menyimpulkan makna yang terkandung dalam ayat-ayat Alkitab?” ujar Syarif.
Kegagalan tersebut membuatnya berhadapan dengan tembok tebal. Ia tidak tahu bagaimana caranya menghadapi dan lepas dari permasalahan hidup ini.
Keimanan Syarif tak lagi sama sejak saat itu. “Saya tidak berkonsultasi lagi kepada pendeta karena menurut saya pendeta tidak pernah mampu memberikan solusi untuk permasalahan hidup saya. Pada akhirnya, iman saya kepada Yesus sirna. Kristen tidak mampu membuat hati saya tenteram dan mantap,” ujar anak tertua dari enam bersaudara ini.
Ia kemudian berbalik kepada agama lamanya sebelum Kristen, yaitu Buddha dan Konghucu. Saat lahir, Syarif memang beragama Buddha seperti kebanyakan etnis Cina lainnya. “Namun, saya berubah menjadi Kristiani ketika sekolah karena disekolahkan di sekolah Kristen,” tuturnya.
Kecewa dengan Kristen, Syarif mulai lagi bersembahyang di wihara, belajar meditasi, serta tidak makan daging atau yang bernyawa pada waktu-waktu tertentu.
Ia pun bersembahyang untuk menghormati arwah leluhur di klenteng. “Semua ibadah saya lakukan, namun kedamaian tak juga saya temui. Sementara permasalahan terus mendekati saya.”
Kenal Islam
Perkenalan Syarif dengan Islam terjadi ketika dirinya bekerja sebagai pemborong penjual bahan bangunan dan alat tulis kantor. Saat itu, ia mempunya banyak relasi orang Islam. Dari mereka,Syarif mulai mengenal tata cara ibadah Islam.
Misalnya, sebelum menunaikan shalat, seseorang harus terlebih dulu mengambil air wudhu (bersuci). Dan, yang lebih menarik perhatiannya adalah kewajiban umat Islam menunaikan ibadah puasa dan zakat. Juga tentang pokok ajaran ketuhanan dalam Islam, yakni tauhid (mengesakan Allah).
“Allah itu Mahaesa (tunggal). Ia tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan- Nya,” kata dia.