REPUBLIKA.CO.ID, Atikah menjanda. Banyak pinangan datang kepadanya.
Tetapi, kesemuanya ditolak lantaran ia masih terikat dengan janji setianya pada Abdullah; tidak menikah bila ditinggal mati.
Umar bin Khattab melamarnya. Hukum syarat dan janji setianya itu pun dikonsultasikan kepada Ali. “Kembalikan kebun itu kepada keluarga Abdullah, sesudah itu menikahlah lagi,” katanya.
Umar dan Atikah pun menikah. Sebagai sosok istri salehah, ia berusaha memberikan kedamaian dan kebahagiaan di hati sang suami. Kehadiran buah hati bernama Iyadh, semakin menyempurnakan biduk mahligai rumah tangga mereka.
Tak berlangsung lama, pernikahan mereka kandas. Umar bin Khatab meninggal syahid akibat dibunuh oleh Majusi. Kesedihan kembali mendatanginya. Ia pun menulis sebuah puisi untuk meluapkan perasaannya tersebut.
Usai masa idah habis, ia kembali menikah dengan Zubair bin al-Awwam. Suami ketiganya ini sangat pencemburu dan posesif. Meskipun, umur Atikah tak lagi muda.
Namun, kebahagian keluarga ini juga tak bertahan lama. Zubair terbunuh di lembah as-Siba’ oleh Ibn Jarmuz dalam Perang Jamal. Ia bersenandung:
”Sungguh Zubair telah menghadapi cobaan murni, dan aku melihatnya (ada) di tempat mulia.”
Di pernikahan terakhirnya, ia menikah dengan cucu Rasulullah, Husein, putra Ali bin Abi Thalib. Ketika itu, usia Atikah menginjak kepala lima. Awalnya, Ali sendiri yang ingin menikahinya. Tetapi, Atikah mengajukan syarat, bila hendak meminangnya, ia tak ingin suaminya kelak pergi berperang. Ali tak bisa menerima syarat itu.
Husein terpikat dengan budi pekerti Atikah yang luhur. Ketika Husein terbunuh, Atikah kembali menjada hingga akhir hayatnya. Ia meninggal pada 40 Hijriah. Kesabarannya dan ketegarannya, bersuamikan para syahid, mendidik Muslimah untuk senantiasa sabar dan berdiri di belakang mendukung suami.