REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Proses pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) di Tanah Air selalu berkutat dalam tiga masalah utama, yakni persoalan daftar pemilih tetap (DPT), mobilisasi birokrasi, dan politisasi anggaran. Ketiga hal tersebut berpeluang besar terjadi apabila pelaksanaan pemilukada tidak berlangsung secara transparan.
Salah satu instrumen yang cenderung menjadi bagian dari politisasi anggaran adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Umumnya yang diuntungkan dengan praktek tersebut adalah kandidat incumbent. Hal tersebut terungkap dalam diskusi bertajuk 'Awas! Politisasi APBD dan Transparansi Pemilukada DKI Jakarta 2012' yang digelar oleh LSM Indonesia Budget Center (IBC) di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, Ahad (20/5).
Dalam Pemilukada DKI Jakarta 2012, terdapat tiga calon gubernur yang berstatus incumbent. Ketiganya adalah Fauzi Bowo (Gubernur DKI Jakarta), Alex Noerdin (Gubernur Sumatera Selatan), dan Joko Widodo (Walikota Solo).
Direktur Eksekutif IBC, Arif Nur Alam mengatakan penting bagi masyarakat untuk mendorong adanya transparansi dana yang mereka gunakan. Hal tersebut dilakukan untuk memastikan tidak adanya dana yang bersumber dari APBD. "Mereka harus mau transparan dengan sumber dananya," ujarnya.
Arif mengaku belum dapat memastikan kemungkinan politisasi terhadap APBD DKI Jakarta dalam pemilukada tahun ini. Meski begitu, Arif menilai potensi tersebut sangat dimungkinkan menilik besarnya jumlah APBD DKI jakarta. Terlebih, birokrasi ibu kota tidak bersifat hegemoni (terpusat pada satu kandidat), melainkan terfragmentasi kepada para kandidat yang ada.
"Kami berharap agar KPU Provinsi DKI Jakarta dan Panwaslukada DKI Jakarta mengawasi agar hal ini tidak terjadi," imbuhnya.
IBC juga melansir temuannya yang mengindikasikan pos-pos belanja APBD yang sering dipolitisasi adalah belanja hibah dan belanja bantuan sosial. Hal tersebut disebabkan kedua jenis belanja ini bersifat tidak mengikat dan penyalurannya tidak melalui program atau kegiatan.