REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat komunikasi politik, Henry Subiakto mengatakan hasil hitung cepat Pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang sementara mengunggulkan Joko Widodo merupakan bentuk penghukuman masyarakat terhadap kegagalan Fauzi Bowo dalam mengurai kemacetan di ibu kota.
"Terutama masyarakat kelas atas yang selama ini merasa kecewa terhadap kondisi lalu lintas Jakarta yang selalu macet setiap saat," kata Henry Subiakto saat dihubungi di Jakarta, Rabu.
Padahal, kata dia, Foke --sapaan akrab Fauzi Bowo-- dinilai cukup berhasil bagi masyarakat kalangan bawah dengan program-program yang menyentuh mereka secara langsung seperti kesehatan dan pendidikan gratis serta tunjangan guru.
Namun, masyarakat kelas atas yang setiap hari dilanda kemacetan merasa marah dan kecewa terhadap kepemimpinan Foke. Kemarahan masyarakat Jakarta semakin terakumulasi karena iklan politik calon petahana itu justru hanya menampilkan keberhasilan-keberhasilannya.
Menurut Henry, realitas kemacetan dan iklan politik yang menampilkan keberhasilan Foke itu menjadi sebuah paradoks bagi masyarakat kelas atas Jakarta. Di satu sisi masyarakat muak oleh kemacetan, di saat yang sama disuguhi iklan-iklan politik Foke yang ada di jalan-jalan.
"Realitas sebenarnya itulah yang menjadi kampanye yang efektif bagi masyarakat supaya tidak memilih Foke," ujar dosen Universitas Airlangga, Surabaya itu.
Dia mengatakan kondisi itu belum tentu terjadi pada daerah lain yang biasanya calon incumbent memiliki modal politik yang kuat. Dia mencontohkan Gubernur Jawa Timur Soekarwo yang dinilai berhasil memimpin provinsi itu dan dicintai warganya.
"Realitas di daerah lain berbeda. Masyarakat di daerah lain tidak setiap hari mengalami macet," katanya.
Sebagai incumbent, menurut Henry, maka Foke merupakan figur calon gubernur yang paling dikenal. Tetapi karena tidak bisa menyelesaikan masalah kemacetan di Jakarta, dia menjadi dikenal sebagai figur yang gagal.
"Paling dikenal, tetapi juga paling dikenal karena kegagalannya," pungkas Henry Subiakto.