REPUBLIKA.CO.ID,CIREBON -- Menjadi warga pesisir pantai merupakan sebuah keberkahan. Salah satunya H Sanim, warga RT 01 RW 03, Desa Rawaurip, Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon. Gerbang rezeki ayah dari empat putri ini justru berada di pesisir pantai.
Cuaca panas yang menyengat warga pesisir pantai, justru menjadi harapan bagi H Sanim. Melalui cuaca seperti itu, dirinya bisa meningkatkan kualitas dan kuantitas garam yang diproduksinya. Benar, H Sanim merupakan salah satu pengusaha garam sukses di wilayah Pantura, Provinsi Jawa Barat.
Melalui usahanya sebagai produsen garam, H Sanim bisa tampil sebagai jutawan di kampung halamannya. H Sanim bukanlah pengusaha turunan yang dibekali modal dan bisnis yang maju. H Sanim mengklaim dirinya hanya bermodalkan ‘dengkul’ saat mengawali usahanya.
Bekal pendidikan pun rasanya kurang cukup. Mengingat, H Sanim merupakan lulusan Sekolah Rakyat (SR), setara dengan SD (saat ini). Sebelum tahun 1982, H Sanim berprofesi sebagai petani garam krosok. Sepetak lahan peninggalan orang tuanya menjadi sejarah awal dirinya terjun di dunia garam.
Dari lahan itu, dirinya memproduksi garam krosok. Air laut yang dia ambil dari pantai utara Jawa Barat itu, kemudian dikeringkan di ladang miliknya. Air laut yang mengering itulah berubah menjadi garam krosok. Setelah menjadi garam krosok, kemudian dijual ke pabrik garam di wilayah Cirebon.
Dirinya membawa garam krosoknya itu ke pabrik garam dengan menggunakan sepeda. Setelah berjalan sekian tahun, naluri wirausaha H Sanim mulai muncul. Saat itu, H Sanim sengaja melamar kerja sebagai buruh Pabrik Garam Sarijaya di daerah Kasepuhan, Kabupaten Cirebon. Dengan tujuan mencari ilmu.
Tidak lebih satu tahun, dirinya berhasil mengantongi ilmu tentang cara membuat garam gandu. Dirinya mengakui, sejak menjadi petani garam krosok, sama sekali tidak mengetahui proses pembuatan garam krosok menjadi garam gandu (balok).
Dengan modal seadanya, hasil dari menambung saat menjadi buruh pabrik garam, H Sanim memberanikan diri memproduksi garam gandu. Tepat 17 Agustus 1982, dirinya mengawali usahanya sebagai produsen garam gandu. Tidak hanya bagi bangsa ini, bagi H Sanim pun 17 Agustus merupakan momentum kemerdekaannya sebagai pengusaha garam berskala mikro.
Tak heran bila garam kemasan milik H Sanim diberi merk ‘17’ dan ‘82’. Bila Anda menemukan garam kemasan dengan merk tersebut, dipastikan berasal dari Rawaurip, milik H Sanim.
Berjalan dua bulan, pesanan garam gandu dari pasar tradisional terus meningkat. Saat itu, dalam sehari dirinya mampu memproduksi hingga 100 buah garam gandu. Dirinya pun mulai mempekerjakan lima tetangganya sebagai tenaga produksi dan pemasaran.
Usahanya terus berkembang. Tahun 1992, dirinya mulai membukukan tambahan aset berupa tanah dan mobil. Tanah seluas 140 meter persegi yang dibelinya itu masih terletak di Desa Rawaurip. Lahan itu digunakan untuk perluasan pabrik garamnya. Sementara mobilnya digunakan untuk mengangkut garam ke pasar-pasar tradisional di wilayah Cirebon.
Topangan aset tanah dan mobil itu semakin mengantarkan kesusksesan H Sanim. Lonjakan keuntungan H Sanim terasa signifikan saat bangsa ini mengalami krisis (1997). Ketika itu, harga produk garam yang dijualnya meroket dari Rp 300 per gandu menjadi Rp 800 per gandu.
Kebetulan saat itu stok garam H Sanim yang akan dijualnya mencapai 200 ton. Di tahun itu pula, H Sanim langsung menambah daftar asetnya dengan membeli tiga unit kendaraan operasional. Salah satu kendaraan yang dibelinya itu sengaja untuk angkutan keluarga. ‘’Sampai tahun 2000, saya tidak pernah dibantu oleh bank sekali pun membutuhkan dorongan modal,’’ ujar H Sanim. Padahal, sejak 1985, dirinya merupakan nasabah salah satu bank besar di Tanah Air. Menjadi nasabah bank, kata dia, hanya untuk mempermudah proses transaksi dengan konsumennya.
Menjelang tahun 2000, dirinya memberanikan diri untuk mengajukan kredit kepada bank yang dipercayainya sejak 1985 itu. H Sanim sangat menyesal ketika bank tersebut menolak proposal pinjamannya. Alasannya, ungkap dia, bangunan pabrik yang dimilikinya tidak bersifat permanen.
Saat dirinya coba-coba mengajukan bantuan modal ke bank bjb tahun 2000, justru mendapat respons positif. bank bjb terlihat antusias dalam menyalurkan bantuan modal kepada H Sanim. ‘’Saya kaget, kok Bank BJB baik yah,’’ ungkapnya dengan lugu.
Tak banyak basa-basi, dirinya langsung menyampaikan kebutuhan modal usahanya yang mencapai Rp 100 juta per tahun. Tidak memakan waktu lama, bantuan itu langsung masuk ke rekening H Sanim. Atas pilihan H Sanim, masa pinjaman itu disepakati selama satu tahun.
Optimisme H Sanim dalam berwirausaha yang melatarbelakangi ditentukannya masa pinjaman selama setahun. Bantuan modal dari bank bjb itu yang mengantarkan H Sanim semakin sukses dan berkembang dalam menjalankan bisnis garam.
Hingga 2010, dirinya ditopang bantuan modal oleh Bank BJB. Per tahun, bantuan yang diterima dari bank bjb berkisar Rp 100 juta hingga Rp 150 juta. Setiap tahun pula dirinya berhasil melunasi seluruh pinjamannya.
Hanya setahun saja, yakni 2011, dirinya tidak mengajukan bantuan. Saat ini, Juni 2012, dirinya kembali mengajukan bantuan modal kepada bank bjb hingga Rp 500 juta. Dalam waktu dekat, papar dia, bantuan itu akan segera diterimanya.
Bagi H Sanim, bank bjb merupakan satu-satunya bank yang tidak sungkan membantu para pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Dirinya banyak berterima kasih kepada bank bjb karena setia menemani usahanya hingga berhasil menjadi salah satu produsen garam besar di wilayah Pantura.
Kini, aset yang dimilikinya berupa 10 unit mobil dan truk serta tanah sekitar tiga hektare. Pekerja di pabriknya pun sudah mencapai 60 orang. Setiap bulan, H Sanim berhasil menjual 200 ton garam dan 170 ton pupuk.
Tanpa bank bjb, rasanya H Sanim akan kesulitan membayar suplai garam krosok dari 80 petani yang merupakan tetangganya. Per hari, dirinya harus menampung sekitar 40 ton garam krosok dari petani. ‘’Harus dibayar kontan. Petani tidak boleh ditunggak pembayarannya,’’ tandasnya. (adv)