REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di New York Amerika Serikat (AS), sepakat untuk membahas perjanjian internasional (konvensi) tentang perdagangan senjata.
Konvensi perlu untuk mengatur perdagangan senjata secara global. Sekira 133 negara dari 193 anggota setuju tentang pembahasan tesebut. Sementara 17 negara lainnya menyatakan abstain, dalam sidang majelis yang diadakan Ahad (24/12) waktu New York tersebut.
Kesepakatan meminta negara anggota untuk ikut dalam perencanaan konvensi yang akan dihelat 18-28 Maret mendatang. Markas PBB di AS, yang menjadi tuan rumah nantinya.Reuters mengatakan rencana konvensi ini sudah alot sejak digulirkan. Negara kunci, yakni AS sejak awal kerap menjegal pembahasan ini.
Terakhir, Juli lalu AS, menolak semua pembahasan dengan alasan, konvensi akan bertentangan dengan hak-hak sipil negara adi daya itu. Penolakan juga dilakukan negara pengekspor lain seperti Rusia, Cina, termasuk Iran dan Arab Saudi sebagai importir terbesar. Padahal konvensi tersebut tidak berusaha mengatur kebijakan domestik setiap negara atas kontrol senjata.
Radio Free Europe mengatakan negara-negara sponsor bermaksud menjadikan konvensi untuk mengikat makelar dan produsen senjata. Konvensi menuntut agar setiap negara anggota meratifikasi pakta tersebut untuk membatasi ekspor senjata, menyusul tingginya angka kematian dan pelanggaran hak asasi manusia akibat jual beli persenjataan.
"Ini merupakan pertanda, sebagian besar negara (di PBB) mendukung konvensi, yang akan memberi standar tinggi dalam pola transaksi (senjata) secara global,'' menteri luar negeri negara-negara pendukung mengatakan demikian dalam suatu pernyataan, seperti dilansir Reuters, Selasa (25/12).
The New York Times Ahad (26/8) pernah melansir data dari Congressional Research Service sebuah Lembaga Pusat Studi di Kongres AS, dengan menyebut negara itu sebagai penguasa pasar persenjataan global. Pada 2011, AS menguasai tiga per empat pasar perdagangan senjata dunia, dengan nilai transaksi mencapai 66,3 miliar dolar AS.
Media AS itu mengatakan, nilai tersebut adalah angka tertinggi dalam sejarah perdagangan senjata di dunia. Presiden Barack Obama berubah pikiran sehari setelah kemenangannya dalam pemilu AS, 6 November lalu. Di Chicago, presiden tanpa ragu menandatangai kesepakatan dengan delegasi PBB. Dia mengatakan setuju untuk kembali membahas konvensi tersebut tahun mendatang.