REPUBLIKA.CO.ID, Siapa bilang budak identik dengan kulit hitam, tak rupawan, dan minim wawasan. Budak yang satu ini mengantongi sifat kesempurnaan.
Wajahnya cantik, kulitnya putih, kecerdasan dan intelektualitasnya fenomenal. Terampil membaca sekaligus menulis.
Satu lagi, ia mahir bersenandung. Daya tarik itu memikat hati penguasa Dinasti Ayubiyah Raja Shalih Najmuddin Ayyub untuk mempersuntingnya.
Perempuan itu ialah Syajarattud Dur. Tokoh berjuluk “pelindung agama” dan Ummu Khalil ini bersama sejumlah punggawa Dinasti Mamluk berhasil mengusir tentara Salib dari Bumi Kinanah.
Meski hanya 80 hari memimpin mesir, di bawah otoritasnya ia mampu mengharumkan namanya. Terutama, kepiawaiannya mengatur pemerintahan saat situasi negara tengah genting.
Dengan sigap, pascakematian sang suami pada 1249 M ia mengambil alih sementara kepempinan. Keputusannya cukup cermat mengingat pada saat yang sama Perang Salib ke-VII tengah berkecamuk.
Pasukan Salib beranjak memasuki tepi Timur Sungai Nil di kawasan Dimyath. Mereka hendak melakukan agresi atas komando militer di Mansoura. Ia tak tenggelam dalam kesedihan. Dengan kecerdikannya, ia menyimpan kabar kematian sang Sultan.
Tindakan ini diambil untuk menghindari dampak negatif atas psikologi para tentara. Secara diam-diam, ia memerintahkan serdadunya untuk membawa jenazah suaminya dengan perahu menunju Benteng Raudhah di Kairo.
Untuk memberi kesan kondisi sang Sultan normal, ia memerintahkan para dokter berpura-pura melakukan pengobatan seperti biasanya. Ia pun beraktivitas seolah-olah sang raja masih hidup; membawa obat-obatan dan makan.
Administrasi kenegaraan pun diproses seperti biasa. Soal taktik peperangan, ia menunjuk Gubernur Fakhruddin sebagai komando perang tertinggi. Pada masa kekosongan itu, ia telah berhasil mengendalikan keadaan. Pasukan Salib berhasil dipukul mundur.
Hingga, putra mahkota Sultan Najamuddin Ayyub Tauran Syah tiba dan menggantikannya pada 27 Februari 1250. Namun sayang, sikap dan kebijakan putra mahkota justru mencedarai harapan dan nurani rakyat Mesir.
Tauran Syah bersikap otoriter dan suka berfoya-foya. Ia tamak kekuasaan. Meski, akhirnya ia harus terjatuh dan terbunuh akibat syahwat politiknya tersebut.