REPUBLIKA.CO.ID, Saat ini, madrasah di sana belum berstatus sebagai sekolah negeri.
Tapi, Kementerian Pendidikan Guinea sedang berupaya memasukkan madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional dengan kurikulum seperti sekolah umum.
Jika itu terlaksana, nantinya madrasah akan menjadi sekolah yang dibiayai pemerintah.
Media massa, termasuk televisi, juga leluasa menyiarkan program-program Islami. Di televisi pemerintah, misalnya, program keislaman disiarkan tiap pekan selama 75 menit.
Di bidang pemerintahan, tokoh-tokoh politik Muslim berkesempatan menduduki jabatan.
Bahkan, Perdana Menteri Guinea saat ini Mohammed Said Fofana merupakan seorang Muslim. Negara ini pun menjadi salah satu anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).
Dalam kehidupan sehari-hari, Muslimah di Guinea tak banyak yang mengenakan jilbab. Walau begitu, mereka berpakaian sopan dan tertutup. Hari-hari besar Islam, seperti Idul Fitri dan Idul Adha, ditetapkan oleh pemerintah sebagai hari libur nasional.
Bahkan, hari Jumat pun menjadi hari libur di Guinea. Meski pernah dijajah Prancis, Guiena nyaris tak mewarisi pengaruh negara Eropa tersebut. Beberapa jenis kesenian, misalnya, justru kental dengan nuansa Islam yang terpengaruh budaya Timur Tengah.
Asal-muasal
Untuk mencapai perkembangan seperti sekarang, Islam di Guinea telah melalui perjalanan yang amat panjang. Beberapa sumber menyebut, Guinea telah mengenal Islam sejak abad ke-10 ketika kerajaan Malinke berkuasa di kawasan tersebut.
Sementara, sumber lain menyatakan, Islam bermula dari kedatangan sekelompok tokoh Muslim beretnis Fulani dari Afrika Tengah ke Guinea pada abad ke-15. Mereka yang kemudian disebut dengan Fouta Djalon pun mengenalkan agama akhir zaman tersebut kepada masyarakat Guinea. Etnis Muslim Fulani mendakwahkan Islam ke etnis-etnis lain di Guinea yang seluruhnya berjumlah 25 etnis.