REPUBLIKA.CO.ID, Hamidah dan suaminya hijrah ke Paris, Prancis. Di “Negeri Menara Eiffel” ini Hamidah tetap berdakwah.
Ia mempersilakan Muslimah belajar di tempat tinggalnya. Ia tetap kuat memegang prinsip. Ia menolak melepaskan jilbab untuk mendapatkan perpanjangan visa.
Pemerintah setempat akhirnya berkompromi, dan memberikan keleluasaan baginya untuk tetap berhijab. Demikian pula Muslimah yang lain.
Di mata sang suami, yaitu Prof Hamdi Mas'ud, ada dua peristiwa yang menunjukkan spiritualitas dan keimanan Hamidah yang tinggi. Deraan cobaan yang menimpa dirinya dan anggota keluarganya tak membuatnya mundur untuk melawan kezaliman.
Yang pertama, ia tabah saat saudara sepersusuannya, Rifat Bakar Syafi', meninggal akibat siksaan di penjara oleh rezim Gamal Abd El-Nasir. Mayoritas keluarganya mendapat intimidasi.
Tak sedikit yang menemui ajal mereka. Termasuk, kakaknya sendiri, Sayyid Quthb. Beberapa saat menjelang hukum gantung dilaksanakan atas saudaranya itu, ia menemui kakak tercintanya itu.
Detik-detik terakhir ia berbicara dan bertatap muka. “Betapa saya rasakan keteguhan imannya,” kata sang suami. Pada Selasa, 17 Juli 2012, daiyah yang terkenal sastrawan ini menghadap Sang Khalik. Kematiannya tersebut akibat penyakit usus buntu akut yang ia derita.