REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat migas menilai pemerintah harus merevisi kontrak bagi hasil (production sharing contrac/PSC) kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) migas. Pasalnya keengganan beberapa KKKS membayar abandonment and site restoration (ASR) karena pemerintah tak mewajibkan pembayaran dana pascatambang dalam perjanjian tersebut.
"Saya kira perlu ada amandemen atau adendum kontrak jika memang harus dikenakan," tegas Wakil Direktur Reforminer Institute Komaidi Notonegoro pada ROL, Selasa (12/2). Apalagi, kontrak itu menjadi acuan tertinggi yang disepakati kedua belah pihak.
PSC menjadi pedoman investasi KKKS. Aturan main ini menjamin kepastian perusahaan dalam dunia usaha untuk meminimalisir risiko bisnis.
"Jika tidak ada dalam ketentuan kemudian dikenakan, itu merupakan wujud ketidakpastian dan risiko tinggi," katanya. Karenanya KKKS menilai hal tersebut tak wajib dan keberatan membayar dana tersebut.
Meski sepakat dengan pemberlakuan dana restorasi ini, menurutnya, menjadi pertanyaan pula, mengapa pemerintah dari awal tidak menuangkan ketetapan ini dalam kontrak. Sebagaimana diketahui, kewajiban membayar dana pascatambang ini baru diberlakukan 2010 lalu.
"Jadi kesan yang tertangkap pemerintah suka menambal sulam regulasi," ujar Komaidi. Ia menuturkan hal ini tak boleh lagi dilakukan ke depan karena akan menganggu investasi ke depan.
Sementara itu, Presiden Indonesian Petroleum Association (IPA) Lukman Mahfoedz mengatakan SKK Migas perlu berkomunikasi kembali dengan KKKS. Karena, beberapa kontrak PSC memang mengacu pada kontrak lama, di mana ketentuan ASR belum tercantum.
"Berarti mereka tidak mempunyai dasar untuk menganggarkan itu," tegasnya. Namun, apabila hal ini jelas tercantum dalam klausul PSC, pasti KKKS akan menyiapkan anggaran khusus untuk membayar dana ini pada RI.
Ia pun menuturkan jangan sampai, akibat persoalan ini, sejumlah fokus penting dalam industri migas terganggu. Yakni peningkatan produksi minyak dan pengembangan kegiatan eksplorasi.
Sebanyak sembilan KKKS migas menolak membayar dana pascatambang. Padahal dana ini diperlukan untuk merestorasi area tambang agar kembali seperti semua.
Mereka antara lain, Chevron Indonesia yang mengelola West Pasir Kalimantan Timur (Kaltim) dan Chevron Pasific Indonesia (CPI) Kuantan yang mengelola Blok Kuantan. Lalu CPI Siak yang mengelola Blok Siak dan Conocophillips yang mengelola Natuna Blok B.
Ada pula Exxonmobil B yang mengelola Blok B Aceh, Exxonmobil NSO yang mengelola Nort Sumatera Offhore. Selain itu, ada juga Inpex Attaka yang mengelola Blok Attaka Kaltim, Joa-Conocophillips South Jambi yang mengelola Blok South Jambi, dan Mobil Cepu Ltd yang mengoperasi Blok Cepu, Jawa Timur.