REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pemerintah diharapkan tidak melakukan monopoli dalam sertifikasi halal. Badan halal swasta harus tetap ada untuk ikut menjalankan sertifikasi tersebut.
Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) DPR RI mendukung adanya lembaga sertifikasi halal swasta. Salah satunya Badan Halal Nahdlatul Ulama (BHNU).
Sekretaris FPKB DPR RI, Muhammad Hanif Dakhiri mengatakan, pemerintah bertanggungjawab untuk melindungi konsumen. Termasuk adanya jaminan produk halal. Namun, bukan melalui paksaan sertifikasi halal oleh pemerintah maupun bentukannya.
Di negara maju seperti Amerika dan Australia yang justru umat muslim menjadi minoritas, sertifikasi halal tidak dimonopoli. Menurut Hanif, yang perlu digarisbawahi, Indonesia mayoritas penduduknya muslim, semua produk harus diasumsikan halal, kecuali yang sudah jelas-jelas diketahui haram.
"Tapi sebagai kewaspadaan sertifikasi tetap harus dilakukan, namun tidak dengan cara pemaksanaan pelaksanaannya oleh pemerintah atau instansi bentukannya," kata Hanif pada Republika, Kamis (21/2).
Menurut Hanif, sertifikasi halal harusnya dilaksanakan dengan sifat tak wajib. Namun dengan sukarela oleh produsen produk makanan dan jasa yang dipasarkan di tengah masyarakat.
Meskipun tidak wajib, kata Hanif, secara teori, semua produsen membutuhkan sertifikasi halal di Indonesia. Sebab, mereka butuh penerimaan dari masyarakat muslim Indonesia.
Ia menambahkan, sertifikat halal merupakan hak ulama sebagai pemegang otoritas agama di masyarakat. Dalam konteks ini, semua organisasi tempat berhimpun ulama seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan lain, berhak mengeluarkan sertifikat halal. Tapi harus tetap memenuhi kompetensi yang disyaratkan.
"Kalau hanya satu lembaga bentukan pemerintah, kesannya sudah terjadi monopoli. Itu tidak sehat, karena selain akan menjadikan biaya sertifikasi tinggi, birokrasinya yang memakan waktu lama juga akan memberatkan produsen," tegas Hanif.
FPKB DPR RI mendorong pemerintah tidak bertindak sebagai pelaksana sertifikasi halal. Peran pemerintah lebih untuk akreditasi pihak swasta seperti organisasi ulama memenuhi syarat agar dapat mengeluarkan sertifikasi halal. Dengan begitu, masyarakat memiliki banyak pilihan untuk mendapatkan sertifikat halal.
Wakil Menteri Agama, Nasaruddin Umar mengatakan, dalam draf Rancangan Undang-Undang yang dikonsepkan pemerintah, memang masih menyebut Majelis Ulama Indonesia sebagai satu-satunya badan halal.
Pemerintah, kata wamenag, harus terlibat dalam jaminan produk halal ini bahkan sampai tingkat operasional. Pasalnya, dalam konstitusi nasional selalu mengacu pada dua hukum, syariah dan hukum positif.
Menurut Nasaruddin, penyelesaian masalah badan halal ini diperlukan musyawarah antara pihak yang berkepentingan. Jangan sampai masyarakat dibuat bingung dan justru dirugikan dengan badan halal yang tidak kunjung selesai.
Kalaupun ada ormas yang ingin membentuk badan halal, tidak menjadi masalah. Namun, pemerintah tetap harus mengambil peran sebagai fungsinya dalam jaminan produk halal pada masyarakat.
"Kita tetap akan memberikan hak keputusan pada ulama untuk mengeluarkan sertifikasi," ungkap dia di Jakarta.
n