Jumat 15 Mar 2013 11:08 WIB

"Blusukan", "Kukurusukan", Tren Para Pemimpin

Sampul depan buku Sang Legenda Umar bin Khattab.
Foto: buku.tokobagus.com
Sampul depan buku Sang Legenda Umar bin Khattab.

REPUBLIKA.CO.ID, Bismillahirrahmaanirrahiim,

Jika kita lihat fenomena pemimpin zaman sekarang seringkali kita lihat di media dengan bahasa blusukan. Secara imajinasi bahasa, saya dapat menangkap artinya tapi secara harfiah jika kita merujuk kepada Kamus besar Bahasa Indonesia ternyata tidak ada.

Dia memang berasal dari bahasa jawa, yang menurut Mas Cokro pengurus rumah al katum artinya kurang lebih “blesek”. Yaitu masuk ke tempat-tempat tertentu. Jika dalam bahasa Sunda mungkin “kukurusukan” (hehe.. tambah ngga ngerti ya).

Apapun itu blusukan-kukurusukan, sekarang sedang menjadi trend di kalangan para pemimpin. Bukan hanya Pak Jokowi saja (sebagai pembuat trend istilah blusukan), tapi juga bahkan presiden kita Pak SBY ikut blusukan. Artinya jika blusukan sudah dilakukan oleh level tertinggi Negara, semoga semua pemimpin ikut blusukan dalam arti yang positif.

Karena bisa saja blusukannya hanya dengan niat diekspose media, artinya pamer sesaat. Selagi ada pemilihan pejabat, apakah itu gubernur, wali kota atau nanti Pilpres 2014. Semua langsung blusukan, bikin janji-janji. Seakan bicara dari hati ke hati dengan rakyat. Padahal jika sudah terpilih janji-janji tinggal janji, bulan madu hanya mimpi.

Mari kita lihat bahwa sesungguhnya pemimpin itu memang sudah seharusnya blusukan. Pada masa khalifah Umar bin Khattab terdapat sebuah contoh yang mengharukan dimana ketika khalifah Umar (setaraf raja), inspeksi alias blusukan berkeliling melihat kondisi rakyatnya sampai ke pelosok-pelosok dengan cara menyamar.

Suatu malam Umar bersama Aslam (ajudannya) mendengar rintihan pilu anak-anak yang sedang menangis, dan disana Umar menemukan seorang ibu yang sedang memasak sesuatu di tungkunya. “Wahai ibu anak-anakmukah yang sedang menangis itu? Apa yang terjadi dengan mereka?”

“Mereka adalah anak-anakku yang sedang menangis karena kelaparan,” jawab sang Ibu sambil meneruskan pekerjaannya memasak.

Setelah memperhatikan sekian lama, Umar dan Aslam keheranan karena masakan sang ibu tidak juga kunjung siap sementara tangisan anak-anaknya semakin memilukan.

“Wahai Ibu, apa yang engkau masak? Mengapa tidak juga kunjung siap untuk anak-anakmu yang kelaparan?”

“Engkau lihatlah sendiri… “ Dan alangkah terkejutnya Umar ketika melihat bahwa yang sedang dimasak sang ibu adalah setumpuk batu.

“Engkau memasak batu untuk anak anakmu?”

“Inilah kejahatan pemerintahan Umar Bin Khattab“ (rupanya sang ibu tidak mengenali siapa yang sedang berdiri di hadapannya).

“Wahai orang asing, aku adalah seorang janda. Suamiku syahid di dalam perang membela agama dan negara ini, tapi lihatlah apa yang telah dilakukan Umar, dia sama sekali tidak peduli dengan kami, dia telah melupakan kami yang telah kehilangan kepala rumah tangga pencari nafkah,''tutur ibu itu.

''Hari ini kami tidak memiliki makanan sedikitpun, aku telah meminta anak-anakku untuk berpuasa, dengan harapan saat berbuka aku bisa mendapatkan uang untuk membeli makanan. Tapi rupanya aku telah gagal mendapatkan uang. Memasak batu aku lakukan untuk mengalihkan perhatian anak-anakku agar melupakan laparnya. Sungguh Umar Bin Khattab tidaklah layak menjadi seorang pemimpin, dia hanya memikirkan dirinya sendiri,” cetusnya.

Aslam hendak memperingatkan dengan siapa dia sedang berbicara saat ini. Tapi Umar segera melarangnya dan serta merta mengajaknya untuk pulang. Bukannya langsung beristirahat, Umar segera mengambil satu karung gandum dan dipikulnya  sendiri untuk diberikan kepada sang Ibu.

Beratnya beban karung gandum membuat Umar berjalan terseok-seok, nafasnya terengah-engah dan keringat mengalir deras di wajahnya. Aslam yang melihat ini segera berkata “ Wahai Amirul Mukminin, biarlah saya saja yang membawa karung gandum itu?”

Umar memandang Aslam. “Wahai Aslam, apakah engkau ingin menjerumuskan aku ke neraka?. Hari ini mungkin saja engkau mau menggantikan aku memikul beban karung ini, tapi apakah engkau mau menggantikan aku untuk memikulnya di hari pembalasan kelak?”

Subhanallah, begitulah contoh blusukan untuk para pemimpin. Bukan hanya datang dan meninjau, tetapi juga langsung memberikan solusi. Terlibat langsung, turut merasakan penderitaan rakyatnya.

Imam Ghazali dalam bukunya “At Tibrul Masbuk fin Nashihatil Mulk” (mutiara dalam nasihat-nasihat untuk para penguasa). Menuturkan bahwa ”Keadilan pemimpin satu hari lebih dicintai Allah daripada beribadah tujuh puluh tahun”.

Dan dalam pemahaman pemimpin sebagai wakil rakyat, khalifah Umar bin Kaththab menulis surat kepada bawahannya, yaitu Abu Musa Al Asy’ary: “Sesungguhnya wakil yang paling berbahagia adalah wakil yang rakyatnya merasa bahagia. Dan sesungguhnya wakil yang paling celaka adalah wakil yang rakyatnya dalam keadaan paling sengsara”. Bagaimana kondisi di Negara kita sekarang? Bagaimana para wakil rakyatnya? Bagaimana rakyatnya?

Dari Abu Ya’la  bin Yassar berkata: ”Aku mendengar Rasulullah bersabda:  Siapa saja  yang ditakdirkan Allah menjadi seorang pemimpin akan tetapi ia  menipu rakyatnya pada saat ia memimpin kemudian ia meninggal dunia (baik meninggal  di saat memimpin atau setelah masa jabatannya habis)  maka Allah mengharamkan syurga baginya (HR. Bukhari dan Muslim).”

Naudzubillah, semoga niat para pemimpin kita “blusukan” bukan cuma pamer sesa’at, bukan untuk dipilih karena dalam rangka kampanye, bukan juga untuk niatan-nitan yang lain kecuali untuk berupaya mensejahterakan rakyatnya. Aamiin. Bagaimana dengan kita semua?, ayo segera ikut blusukan, kukurusukan hehe.. Insya Allah

Tidaklah lebih baik dari yang menulis ataupun yang membaca, karena yang lebih baik di sisi Allah Swt adalah yang mengamalkannya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement