Ahad 24 Mar 2013 07:47 WIB

Premanisme Zaman Jahiliah

Gurun Pasir
Foto: indonesia.cri
Gurun Pasir

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh M Husnaini

Istilah ‘premanisme’ (dari bahasa Belanda: vrijman) adalah sebutan peyoratif yang merujuk pada kegiatan sekelompok orang untuk mendapat penghasilan dari tindakan memeras, mengganggu, atau membunuh kelompok lain.

Fenomena premanisme belakangan semakin marak. Ada preman terminal, preman pasar, preman kampung, preman jalanan. Paling berbahaya lagi preman berdasi. Yang terakhir ini lebih canggih modusnya, lebih sukar diberantas, tetapi posisinya justru ‘mentereng’ di masyarakat.

Premanisme sangat identik dengan dunia kriminal dan kekerasan. Hanya, tingkat kekerasannya berbeda. Kekerasan preman ‘kelas teri’ tentu lebih gampang diungkap karena bersifat fisik. Lain dengan kekerasan preman ‘kelas kakap’ yang cenderung lebih sukar diidentifikasi karena bersifat struktural, politis, dan sistematis.

 

Kendati demikian, premanisme sudah lama muncul, bahkan sejak zaman Rasulullah. Kaum kafir Makkah yang sangat membenci Rasulullah tidak pernah berjeda melakukan tindakan-tindakan brutal dan membabi buta. Begitu getolnya mereka melancarkan kekerasan secara fisik maupun non-fisik untuk merongrong kenyamanan hidup kaum muslim.

Dalam konteks dunia kriminal, kejahatan mereka jelas memenuhi syarat dan unsur untuk disebut sebagai tindakan premanisme. Tindakan premanisme paling darurat waktu itu dilakukan Abu Al-Hakam, dikenal dengan sebutan Abu Jahal alias Bapak Kebodohan. Dialah promotor dan inisiator utama yang begitu aktif melakukan intrik-intrik jahat kepada Rasulullah dan kaum muslim.

Tidak kalah dari itu adalah Abu Lahab dan istrinya. Ditegaskan Allah, “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sungguh dia akan binasa. Tidak berguna harta benda dan apa yang dia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang membara. Dan istrinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut” (Qs Al-Lahab: 1-5).

Berbagai cara kejam dilakukan untuk menghentikan dakwah Islam. Ketika turun perintah shalat, misalnya, kaum muslim sering pergi ke lembah tersembunyi di luar Makkah untuk melaksanakan shalat jamaah. Namun, komplotan preman kafir mendatangi dan memukuli kaum muslim.

Adu fisik pun tidak bisa dihindari. Dan inilah awal mula pertumpahan darah dalam Islam. Tetapi Allah menurunkan ayat, “Bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan, dan jauhilah mereka itu dengan cara yang baik” (Qs Al-Muzzammil: 10).

Secara kuantitas, kaum muslim kala itu memang masih terhitung jari. Perlawanan fisik minoritas muslim tidak akan mampu mengungguli kekuatan mayoritas kafir. Barangkali itulah alasan Allah mengingatkan, “Karena itu berilah tangguh orang-orang kafir itu barang sebentar” (Qs At-Thariq: 17).

Tidak cukup kekerasan fisik, kaum kafir Makkah juga melakukan pembunuhan karakter terhadap Rasulullah. Mereka menjatuhkan reputasi Rasulullah dengan bersepakat untuk menyebut beliau sebagai orang gila, paranormal, penyair, dan penyihir. Penggagasnya adalah Walid bin Mughirah.

Ada juga premanisme sistematis dengan cara melakukan pemboikotan. Abu Jahal melarang kaum kafir untuk menikah atau berdagang dengan keluarga Rasulullah dan kaum muslim. Para budak yang memeluk Islam bahkan dibantai begitu rupa tanpa perikemanusiaan. Tujuannya tidak lain untuk melemahkan dakwah Islam secara ekonomi dan politik. 

Pemboikotan berlangsung dua tahun. Bagi Rasulullah sendiri, masa dua tahun itu dirasakan berat, dan semakin memuncak ketika Khadijah dan Abu Thalib kemudian meninggal. Tahun itu dikenal dengan ‘Tahun Kesedihan’. Istri dan pamanda tercinta yang dulu menjadi pembela dan pelindung dakwah kini telah tiada. Sementara, premanisme kaum kafir semakin menggila.

Tidak berhenti di situ, ketika kaum muslim mengungsi ke Abyssinia (Habasyah, Ethiopia), kaum kafir juga tidak tinggal diam. Segera dikirimlah Amr bin Al-Ash dan Abdullah bin Abu Rabiah untuk melobi Raja Negus (Najasyi, Ashamah bin Abjar), pejabat tinggi Abyssinia, agar mengusir para pengungsi muslim. Amr bin Al-Ash, salah seorang utusan, adalah diplomat dan oratur ulung. Alih-alih berhasil, sang raja justru menerima Islam dan menolak aneka hadiah mewah dari kaum kafir.

 

Dirancanglah konspirasi untuk membunuh Rasulullah. Puncaknya, ketika suatu malam menjelang hijrah ke Madinah. Para pembesar dan konglomerat Makkah menyiapkan 11 orang preman dari bermacam suku. Mereka dibayar untuk mengintai Rasulullah sejak petang hari dengan tujuan melancarkan serangan pada tengah malam.

Tetapi Allah menggagalkan. “Ingatlah ketika orang-orang kafir itu berupaya menangkapmu dan memenjarakanmu atau membunuhmu atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Allah sebaik-baik pembalas tipu daya” (Qs Al-Anfal: 30).

Rasulullah selamat dari kepungan. Bertolak ke Madinah bersama Abu Bakar Ash-Shiddiq pada malam 27 Shaffar tahun 14 kenabian. Beliau mengambil tanah dua genggam dan menuangkannya di kepala mereka. “Kami jadikan di hadapan dan di belakang mereka dinding. Kami tutup mata mereka sehingga tidak melihat” (Qs Yasin: 9).

Di tengah jalan, mendadak datang seorang pemuda berkuda. Dia begitu bernafsu untuk mengejar Rasulullah, meski kudanya tidak bisa diajak kompromi. Beberapa kali dipacu, beberapa kali pula kaki kuda itu terperosok ke tanah. Dialah Suraqah. Preman yang dikenal lihai berkuda itu begitu tergiur oleh hadiah sayembara 100 unta bagi siapa yang berhasil menangkap Rasulullah, hidup atau mati.

Demikian premanisme pada zaman Jahiliah. Premanisme kini tampil dengan ‘baju’ lebih modern. Premanisme modern bukan lagi kelompok liar atau perorangan, melainkan memiliki jaringan rapi dan terorganisasi, dengan jumlah anggota yang tidak bisa dibilang sedikit.

Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement