REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Pesan berbasis teks kini telah dikalahkan pesan berbasis data, seperti Apple iMessage, BlackBerry Messenger, dan WhatsApp. Pergeseran ini secara signifikan mengikis pendapatan operator telekomunikasi.
Bagai benalu, semakin banyak operator membuka jaringan broadband, maka semakin banyak trafik data yang lalu lalang melalui jaringan operator bersangkutan, dikenal dengan sebutan aplikasi over the top (OTT).
Konsultan Informa di Inggris menunjukkan pendapatan SMS tahun lalu mencapai 25 miliar dolar AS, lebih kecil dibandingkan 34 miliar dolar AS dari OTT. Pergeseran preferensi konsuman ke arah smartphone semakin meluas dan menjadi rezeki 'nomplok' bagi pembuat aplikasi OTT.
Di sisi lain, kehadiran OTT menyebabkan pelaku operator telekomunikasi pusing tujuh keliling. Bagaimana tidak? Pengiriman pesan teks mencapai 17,6 miliar pesan akhir 2012, berbanding 19 miliar pesan pada pesan OTT.
"Pada 2020, kanibalisasi layanan OTT akan mencapai 86 miliar dolar AS," ujar analis konsumen di Ovum Informa, Neha Dharia, dilansir dari the Guardian, Selasa (30/4).
Cerdasnya, pelaku OTT mula-mula mengembangkan bisnisnya secara besar-besaran di negara dengan tarif SMS mahal, seperti Spanyol dan Belanda. Ketika alternatif OTT menjadi lebih murah dan gratis, maka orang akan berbondong-bondong beralih ke OTT.
Google mulai melihat peluang cerah dari aplikasi OTT sehingga perusahaan ini membuat tawaran satu miliar dolar AS untuk membeli hak atas WhatsApp. Namun, tawaran itu ditolak. WhatsApp telah menjelma menjadi salah satu pemain utama dalam ruang pesan instan.