REPUBLIKA.CO.ID, Unsur lokalitas bersinergi secara harmonis dengan nuansa Timur Tengah. Itulah tema utama dalam desain arsitektur Masjid Pusdai Bandung.
Masjid yang berada hanya sepelemparan batu dari Gedung Sate itu memberikan bukti bahwa akulturasi dua budaya mampu menghadirkan estetika dalam bangunan ibadah umat Islam.
Dirancang oleh guru besar arsitektur Institut Teknologi Bandung (ITB), Slamet Wirasonjaya, masjid ini secara jelas menampakkan upaya revitalisasi desain masjid modern yang tidak menghilangkan unsur budaya lokal.
Tak sekadar tempat untuk bersujud, melalui sentuhan guru besar arsitektur Institut Teknologi Bandung (ITB) itu, hadirlah sebuah upaya revitalisasi desain masjid yang modern tanpa menghilangkan unsur budaya lokal.
Upaya revitalisasi ini tersirat jelas pada bentuk atap. Masjid ini tak berkubah. Atapnya berbentuk limasan empat tumpang.
Taufiq Rahman, pengurus dari bagian informasi dan galeri Masjid Pusdai menjelaskan, bentuk atap masjid semacam itu merupakan gaya bangunan tropis khas Sunda.
Sebagai bentuk revitalisasinya, atap limasan tadi diputar 90 derajat dari setiap tumpukannya. Alhasil, jika melongok ke bagian atap masjid, akan terlihat tumpukan atap yang tak lagi tersusun sejajar layaknya Masjid Demak yang sarat nilai sejarah.
Atap Masjid Pusdai pun kemudian lebih memperlihatkan bentuk yang bersudut-sudut. Revitalisasi terhadap bentuk atap itu menghasilkan pemandangan yang memikat ketika berada di bagian dalam masjid.
Ketika melihat langit-langit akan tersaji bentuk yang unik. ‘Pemutaran’ bagian atap itu menghasilkan semacam relung yang menghadirkan bentuk ruang diagonal di setiap sudutnya.
Susunan bagian langit-langit yang berbentuk diagonal itu juga diperkaya dengan adanya tiang. Dalam hal ini, tiang-tiang tersebut tersusun secara zig-zag dalam jarak sekitar 10 meter.
Pembuatan tiang semacam ini, menurut Taufiq, merupakan salah satu keunikan yang ada di masjid ini. Penyusunan secara zig-zag itu dilakukan dengan memancangkan tiang-tiang di bagian tengah pada setiap tiang balokan horizontal. Uniknya, tiang-tiang tersebut ternyata tidak langsung menyatu ke bagian atas.
''Struktur semacam ini memang cukup rumit. Tetapi, adanya tiang-tiang yang zig-zag tersebut memberikan kekuatan dalam menopang bangunan di atasnya,'' kata Taufiq yang juga menyandang gelar sarjana arsitektur ITB.
Sebagai gambaran umum, bagian dalam masjid yang mampu menampung 4.600 jamaah memiliki dua lantai. Lantai kedua, yang merupakan mezanin, dipergunakan untuk ibadah bagi jamaah wanita. Langit-langit didesain terbuka.
Hal ini membuat struktur plafon bangunan yang rumit tadi bisa dengan mudah terlihat. Taufiq mengungkapkan, jarak antara dasar lantai dan bagian teratas kubah mencapai 19-20 meter.
Jarak yang cukup tinggi inilah yang membuat sirkulasi udara di dalam masjid berjalan cukup baik. ''Alhamdulillah, semuanya didesain secara alami. Di sini kita tidak menggunakan AC (air conditioner),'' katanya.
Selama bertahun-tahun mengurus Masjid Pusdai, Taufiq mengaku baru satu kali merasa kepanasan saat berada di dalam ruangan utama. Kondisi itu terjadi karena saat itu ada acara yang dihadiri anak-anak sekolah. ''Jumlah mereka sangat banyak serta aktivitasnya juga cukup padat.''
Untuk pencahayaan, masjid ini memiliki bidang-bidang kaca yang dipasang di sela-sela tumpukan atap. Di bagian dalam masjid ini pula, dihadirkan lampu gantung bergaya tradisional.
Jika malam tiba, lampu gantung ini mampu menghadirkan suasana yang kontemplatif lewat sinarnya yang temaram. ''Kita berharap dengan temaram lampu bisa menciptakan rasa khusyuk dalam beribadah,'' kata Taufiq.
Selain bentuk atapnya, unsur lokalitas Sunda lainnya pada masjid ini tersaji pula pada beberapa corak ukiran dekoratif. Ada ukiran berbentuk bunga teh, patra kumala, hingga melati. Motif bunga-bunga tersebut menghiasi hampir setiap sudut. Bahkan, motif itu sangat dominan terlihat pada bagian pintu dan mihrab.