REPUBLIKA.CO.ID,Hukum berpuasa bagi Muslimah pada dasarnya sama dengan laki-laki, yaitu wajib. Tetapi, sebab beberapa uzur syar’I, seperti haid, nifas, atau tengah hamil besar, mereka diperbolehkan untuk tidak berpuasa dan wajib menggantinya di lain hari. “Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (Q. al-Baqarah [2] : 184)
Lalu, bagaimana tata cara mengganti puasa yang terlewat tersebut? Syekh Muhammad Jawad Mughniyah dalam Fikih Lima Mazhab menjelaskan tata cara mengganti puasa yang terlewatkan.
Ia menerangkan bahwa para ulama bersepakat bila seseorang meninggalkan puasanya maka ia diwajibkan menggantinya pada tahun itu juga. Artinya, selama kurun waktu Ramadhan, lalu dengan Ramadhan berikutnya. Soal harinya, ia bebas memilihnya selama bukan hari-hari yang diharamkan berpuasa.
Syekh Jawad lalu memaparkan beberapa contoh kasus yang berkaitan dengan penggantian puasa berikut hukumnya. Kasus yang pertama ialah bagaimana hukum orang yang mampu mengganti puasa, tetapi ia menunda-nunda dan menyia-nyiakan kesempatan qadha tersebut sampai Ramadhan berikutnya datang?
Menurutnya, dalam kondisi seperti di atas maka yang bersangkutan selain harus mengqadha puasa yang ditinggalkannya, ia juga berkewajiban membayar kafarat berupa memberi makan satu orang miskin senilai satu mud (675 gram) setiap hari yang ia tinggalkan.
Pendapat ini disepakati oleh mayoritas mazhab fikih, kecuali Mazhab Hanafi. Menurut mazhab yang berafiliasi pada Imam Abu Hanifah itu, ia hanya diharuskan untuk mengganti puasa. Sedangkan, pembayaran kafarat tidak diperlukan.
Ada juga kasus lain, yaitu hukum mengganti puasa bagi orang yang sakit berkelanjutan. Bagaimana cara mengqadhanya? Menurut Syekh Jawad, mereka yang sakit terus-menerus tidak diharuskan mengqadha puasa dan tidak pula membayar kafarat. Ini sesuai dengan pendapat mayoritas empat mazhab. Sedangkan, menurut Mazhab Imamiyah, pelaksanaan qadha gugur, tetapi ia tetap wajib membayar kafarat sebagaimana tersebut di atas.
Syekh Jawad juga menyinggung soal hukum mengakhirkan qadha puasa Ramadhan dengan niat mengqadhanya sebelum Ramadhan kedua. Ini agar ia dapat bersambung antara pelaksanaan qada yang telah lalu dengan Ramadhan yang akan datang.
Pertanyaannya, bagaimana bila di tengah perjalanan, sebelum niatan itu terlaksana, ada uzur yang menghalanginya? Menurutnya, para ulama mazhab berpendapat ia harus membayar kafarat.
Bagaimana bila sebelum terlaksana niatannya itu, ia meninggal dunia? Syekh jawad mengatakan, dalam kasus seperti ini maka yang wajib mengqadha ialah para ahli warisnya. Kewajiban itu mengatakan, pada kasus seperti itu maka yang wajib mengqadha ialah para ahli warisnya. Kewajiban ini berada di pundak anak paling tua. Pendapat tersebut disuarakan oleh Mazhab Imamiyah.
Sedangkan, menurut Hanafi, Syafi’I, dan Hanbali, anak yang tertua tersebut harus menyedekahkan hartanya satu mud setiap hari untuk puasa yang ditinggalkan orang tuanya. Menurut Mazhab Maliki, sang wali harus menyedekahkannya selama ia berwasiat untuk bersedekah. Tetapi, bila tidak, ia tidak wajib bersedekah.
Bila kasus orang berutang puasa dan meninggal sebelum membayar puasanya, Syekh Kamil Muhammad Uwaidah dalam Fikih Wanita mengatakan, utang puasa tersebut boleh digantikan oleh walinya. Ini sebagaimana hukum yang berlaku dalam haji. Pendapat itu merujuk pada hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah RA. “Barang siapa meninggal dunia dalam keadaan meninggalkan kewajiban qadha puasa maka hendaklah walinya berpuasa untuk menggantikannya.” (HR Bukhari).