REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Ekonomi, Dwi Andreas menilai jika Indonesia tidak memiliki ketahanan pangan maka tinggal menunggu kehancuran saja. Sebab, ketahanan pangan merupakan wujud dari kuatnya sebuah negara.
Dwi mencatat Indonesia saat ini mengimpor beras sejumlah 1,72 ton pertahun. Ini merupakan catatan buruk sepanjang 2011 hingga sekarang. Padahal, jika dibandingkan dengan negara lain. Indonesia bisa menjaga ketahanan dan kebutuhan pasokan beras jika pemerintah punya political will dalam swasembada beras.
"Saat ini Indonesia masih bergantung dengan standar internasional, namun disisi lain diperparah dengan sikap pemerintah yang seolah lepas tangan terhadap ketahanan petani dalam produksi pangan," ujar Dwi saat menghadiri diskusi Senenan yang diselenggarakan oleh MPR di komplek Parlemen, Senin (6/4).
Dwi menilai sudah saatnya, Indonesia mengambil kebijakan mandiri dalam hal beras. Mengapa negara lain mampu bertahan dalam ketahanan beras hal ini disebabkan negara lain bisa memberikan subsidi bahkan kebijakan yang pro terhadap rakyatnya.
Selain itu, Dwi mengatakan salah satu kendala mengapa Indonesia tak kunjung bisa membuat side plan terkait ketahanan pangan, disebabkan tidak adanya data valid terkait kondisi lapangan pangan kita.
"Data Internasional dan data kita saja selisih 17 persen, data BPS dengan data yang ada dikomisi IV saja berbeda 40 persen," ujar Dwi.
Perselisihan data ini menunjukan tidak ada data yang resmi soal kondisi pangan kita. Akhirnya, Indonesia tidak bisa membuat strategis ketahanan pangan yang jelas. Tentu, menurut Dwi ini sebuah langkah mundur.