REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Dualisme kepengurusan partai Golkar dan PPP tak kunjung selesai dibicarakan. Pembicaraan seputar dualisme tersebut juga muncul pada dialog sesi pertama dari dua dialog pada acara press gathering Pimpinan MPR RI dengan Koordinatoriat Wartawan parlemen yang berlangsung di Hotel Grand Angkasa Medan, akhir pekan lalu.
Diskusi dengan tema Etika politik, itu menampilkan enam narasumber. Yaitu Wakil Ketua MPR Mahyudin, Junimart Girsang, Khatibul Umam Wiranu, Abdul Kadir Karding, Zainut Tauhid Saadi, Bachtiar Aly, serta M. Syukur.
Menurut H. Zainut Tauhid, saat ini masyarakat Indonesia tengah risua melihat nasib yang menimpa partai politik, khususnya Golkar dan PPP. Dualisme kepengurusan Golkar dan PPP menjadi salah satu bukti bahwa parpol mengalami distorsi. Penyebabnya, para elit dipartai terjerumus pada praktek perebutan kekuasaan. Dan itu menjadi contoh etika politik yang buruk bagi masyarakat.
Sementara Abdul Kadir Karding mengingatkan, bangsa Indonesia memiliki sistem etika yang bersumber pada Pancasila, termasuk etika berpolitik. Bahkan sejak dulu para pendiri bangsa sudah berkonsensus menjadikan Pancasila sebagai ideologi.
Hanya saja, dalam prakteknya politik di indonesia masih terus mencari bentuk, sehingga belum semua etika yang bersumber pada Pancasila bisa dilaksanakan. Padahal keberadaan Pancasila bukan saja diakui bangsa Indonesia, tapi juga dunia.
"Kita memerlukan figur yang bertindak sebagai tauladan bagi etika berpolitik, berbangsa dan bermasyarakat", kata Abdul Kadir Karding menambahkan.
Indonesia, menurut Abdul Kadir masih membutuhkan Pancasila. Agar etika itu bisa diaplikasikan, maka etika itu harus dibungkus aturan sehingga bisa dilaksanakan sebagai tradisi.
"Sila ke 4 pancasila jelas menyangkut permusyawaratan perwakilan, jadi voting itu harusnya menjadi alternatif paling akhirr", kata Abdul Kadir lagi.