REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Musyawarah mufakat menjadi sistem dalam budaya Pancasila yang selain diterapkan pada pengambilan keputusan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, juga dilaksanakan di kehidupan masyarakat terkecil yakni, lingkungan keluarga. Hal ini diungkapkan dalam dialog yang digelar Sekretariat Jendral Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) yakni, MPR Rumah Kebangsaan tema Budaya Pancasila.
Dialog menghadirkan Sekjen MPR RI, Ma'ruf Cahyono dan Prof. Dr. Muhammad Jafar Hafsah, anggota Lembaga Pengkajian MPR RI sebagai narasumber. Muhammad Jafar mengatakan, dalam budaya Pancasila, kebersamaan antarmasyarakat untuk mewujudkan negara kesatuan Indonesia menjadi kekuatan. Pancasila dilahirkan oleh para founding fathers merupakan kristalisasi, budaya serta pandangan internasional.
" Komponennya ada idealisme, kecerdasan, kejujuran, kebenaran, ketuhanan, teknologi, semua masuk tercakup semua," katanya.
Ma'ruf Cahyono mengatakan, dalam mengembalikan budaya Pancasila dan menjalankan nilai-nilai Pancasila, terdapat tiga dimensi yang dikenal yakni, "Kita Pancasila" dan dalam dimensi lain, sangat fleksibel dalam perkembangan apapun termasuk teknologi informasi yang dihadapi oleh anak muda saat ini. Dalam dimensi idealisme, pandangan hidup hingga internasional itu semua sudah diakomodir dalam Pancasila.
Menurutnya, cara merawat agar nilai Pancasila tidak luntur maka wajib disosialisasikan terus menerus agar menjadi pengetahuan, pemahaman, dan implementasi pada pelaksanaan nilai tersebut . "Sosialisasi merupakan tanggung jawab semua komponen bangsa. MPR punya tugas khusus seperti diamanatkan oleh UU No, 17 tahun 2014 pasal 5 yang secara eksplisit mengatakan MPR harus memasyarakatkan TAP MPR, yakni, Pancasila, UU NRI 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI, " kata Ma'ruf.
Ia menegaskan, sosialisasi ini merupakan sebuah kerja besar dan menjadi tanggung jawab semua komponen bangsa.
Sementara Jafar mengatakan, dalam menyoroti tentang musyawarah mufakat dan voting, banyak yang melihat istilah voting dari sisi tataran formal. " Voting adalah sebuah jalan untuk mencapai musyawarah, karena keterbatasan waktu," kata Jafar.
Padahal ini dua hal yang berbeda, namun intinya sama, yakni, satu proses untuk mengambil sebuah keputusan. Sebenarnya kehidupan Pancasila dalam praktek bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tidak dilihat dalam pandangan sempit. Mengenai musyawarah mufakat mengambil keputusan dalam suara terbanyak itu, sudah dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti, yang dilakukan dalam keluarga antara suami, istri, kakak dan adik.
" Ini potret dalam sila keempat. Masih ada dan hidup di negara kita, " kata Ma'ruf melanjutkan.
Kalau dalam mengambil kebijakan dalam tataran kelembagaan negara maka diambil keputusan lewat voting. Ma'ruf mengatakan, kenapa Pancasila menjadi ideologi terbuka, karena pada pembentukan Pancasila, kristalisasi dari nilai-nilainya itu dimasukkan menjadi pembentukan lima sila yang secara terbuka untuk kepentingan golongan dan kelompok. Ini membuka ruang untuk siapapun berdiskusi, saling memberi dan menerima.
Bagaimana Pancasila menjadi perisai atau benteng dalam kehidupan, menurut Ma'ruf karena Pancasila memiliki sistem nilai yang dilaksanakan oleh seluruh masyarakat, dan memiliki peran penting, sebagai alat pemersatu, dan alat ketahanan negara. Ini menjadi alat dalam sistem nilai pada diri kita, dan penting bagi generasi muda, dengan derasnya arus informasi maka harus memiliki alat ketahanan yang kuat, dan harus menjadikan ideologi Pancasila sebagai benteng.
Menurut Ma'ruf, dampak dari teknologi informasi bisa diterjemahkan dengan baik dan menjadi respon positif sehingga jadi peluang, dan penting melakukan internalisasi nilai ini bagi generasi muda, di tengah dampak media sosial yang luar biasa, informasi tidak beraturan dan menjadi kontra produktif bagi generasi muda.