REPUBLIKA.CO.ID, BANYUASIN -- Pagelaran Wayang Kulit di Desa Cintamanis Baru, Kecamatan Air Kumbang, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan, Sabtu (13/10) malam lalu, disambut
antusiasme luar biasa dari masyarakat setempat. Warga masyarakat asal Jawa berbaur dengan masyarakat asli di sana, berada dalam satu tenda besar yang terbentang di sebuah tanah lapang di Desa Cintamanis Baru.
Bahkan tenda berkapasitas 1.000 tempat duduk tak mampu menampung penonton hingga meluber ke luar tenda. Kepala Biro Humas Setjen Majelis Pernusyawaratan Rakyat (MPR) Siti Fauziah, mengungkapkan rasa bangganya melihat antusiasme masyarakat ingin menyaksikan pagelaran wayang kulit tersebut. Apalagi pagelaran seni budaya trasional ini adalah dalam rangka sosialisasi Empat Pilar MPR.
“Saya bangga karena malam ini penontonnya cukup padat. Ini adalah pertanda bahwa masyarakat di sini sangat menyukai wayang kulit, dan tampaknya juga mereka kangen akan kehadiran wayang,” kata Siti Fauziah selaku ketua penyelenggara pentas seni budaya Wayang Kulit.
Maklumlah warga masyarakat Desa Cintamanis Baru itu hampir 65 persen warga transmigran dari berbagai daerah di Jawa. Generasi transmigran pertama datang ke sana pada tahun 1971, dan kini jumlah penduduk desa itu telah mencapai 900 Kepala Keluarga (KK) atau sekitar 3.000 jiwa.
Mereka umumnya adalah petani karet dan kelapa sawit. Warga masyarakat di sana mengaku jarang menyaksikan pagelaran kesenian tradisional nenek moyang mereka ini.
Itulah sebabnya sambutan masyarakat terhadap kesenian wayang kulit dalam rangka sosialisasi Empat Pilar ini begitu besar. Lebih lanjut, Siti Fauzia, menjelaskan dalam memasyarakatkan Empat Pilar, MPR menggunakan berbagai metode. Dan, sasarannya juga berbagai elemen masyarakat.
Untuk anak-anak Sekolah Dasar misalnya, sosialisasi dilakukan melalui komik, buat siswa SLTA menggunakan metode Lomba Cerdas Cermat, lalu untuk guru dan pejabat-pajabat daerah melalui FGD atau seminar. Sementara untuk mahasiswa menggunakan metode Kemah Empat Pilar dan Training of Trainers (ToT), serta masih banyak metode lainnya.
MPR memilih seni budaya sebagai salah metode sosialisasi, menurut Siti Fauziah, karena di dalam seni budaya tradisional, seperti wayang kulit ini, mengandung filosofi yang berisi tuntunan dan dapat dijadikan panutan, selain sebagai tontonan.
“Mudah-mudahan cerita wayang yang disampaikan dalang, Ki Seno Aji, melalui lakon Wahyu Makutoromo, memberi manfaat untuk masyarakat, dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari,” harap Siti Fauziah.
Ketua Fraksi Gerindra di MPR Edhy Prabowo.
Pagelaran wayang kulit di tahun politik yang dibuka oleh Ketua Fraksi Gerindra di MPR Edhy Prabowo, atas nama Pimpinan MPR RI ini, diwarnai semangat persatuan. Buktinya, di bawah tenda besar yang dijadikan tempat pementasan wayang kulit ini, selain berkumpul para pejabat daerah bersama warga dan tokoh masyarakat dari berbagai elemen, juga hadir para calon legislatif asal Kabupaten Banyuasin dari lintas partai.
“Inilah tujuan diadakannya pagelaran wayang kulit, untuk menyatukan semua kekuatan. Karena kita sama-sama menyadari bahwa yang kita urus adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukan negara milik satu kelompok. Dan, inilah makna kita berbeda,” ungkap pria kelahiran Tanjung Enim, Sumatera Selatan, itu.
Kebetulan hampir 65 persen penduduk Kabupaten Banyuasin adalah warga Jawa. Sehingga Edhy Prabowo menilai, di tengah ekonomi yang sulit seperti sekarang ini, wayang kulit menjadi salah satu alat yang paling efektif untuk bisa menyatukan rakyat dari semua suku.
Apalagi di Banyuasin ini antara penduduk asli dan pendatang sangat kompak. “Tinggal sekarang, bagaimana melalui pagelaran wayang ini rakyat Banyuasin, khususnya kecamatan Air Kumbang, bisa guyub dan rukun,” ujar Ketua Komisi IV DPR yang membidangi pertanian ini.
Berkaitan dengan sosialisasi Empat Pilar MPR (Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika), Edhy Prabowo perlu menjelaskan bahwa itu bukanlah tata urutan kenegaraan, melainkan hanya pengemasan. Intinya, ada empat hal pokok di negara ini yang tidak boleh kita langkahi, yakni Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, UUD NRI Tahun 1945 sebagai konstitusi negara, NKRI sebagai bentuk negara, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara.
Jadi, lanjut Edhy Prabowo, di negeri ini apapun bentuk kehidupan tidak boleh bertentangan dengan Pancasila. Kalau bertentangan dengan Pancasila, itu berarti melawan hukum di Indonesia.
Begitu pula UUD NRI Tahun 1945 adalah hukum tertinggi di negeri ini. Kalau ada hukum lain bertentangan dengan konstitusi maka hukum itu menyalahi aturan yang ada di Indonesia. Misalnya, kalau ada Perda bertentangan dengan UUD maka wajib dibatalkan. Atau bila ada UU yang dibuat DPR bertentangan dengan UUD maka wajib diganti.
Selanjutnya, NKRI. Harus disadari bahwa warga bangsa ini hidup di wilayah yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, dan dari Miangas hingga Pulau Rote. Hidup sebagai bangsa yang satu, yaitu Republik Indonesia.
“Tidak ada Negara lain yang bisa hidup di Indonesia ini, selain Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ujar Adhy Prabowo.
Terakhir, adalah Bhinneka Tunggal Ika adalah wujud dari keberagaman bangsa. Usai menyampaikan materi sosialisasi, diteruskan penyerahan tokoh wayang (Arjuna) oleh Edhy Prabowo kepada Wakil Bupati Banyuasin, Slamet Somosentono, SH., dan selanjutnya diserahkan kepada dalang, Ki Seno Aji dari Wonogiri.
Segera setelah itu pagelaran wayang pun dimulai. Lakonnya adalah Wahyu Makutoro, yang mengisahkan tentang ajaran Asta Brata atau delapan pedoman atau perilaku yang harus dimiliki seorang pemimpin. Ke delapan perilaku itu berasal dari unsur yang ada di alam semesta, yaitu: Surya (matahari), Candra (bulan), Kartika (bintang), Angkasa (langit), Maruto (angin), Samudera (laut), Dahana (api), dan Bumi (tanah).
Jadi, kalau seorang pemimpin tidak mengamalkan ajaran Asta Brata, sama halnya dengan pemimpin yang tak bermahkota. Begitu pula rakyat biasa yang mengamalkan ajaran Asta Brata maka boleh disebut rakyat yang bermahkota.
Maka, kisah Wahyu Makutoromo ini sejalan dengan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Empat Pilar. Kalau menggunakan istilah Wakil Bupati Banyuasin Slamet Somosentoso, di akhir cerita wayang itu adalah wajib sembahyang.