REPUBLIKA.CO.ID, PALEMBANG -- Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Hidayat Nur Wahid sangat prihatin dengan pembakaran bendera tauhid bersamaan dengan peringatan Hari Santri di Garut, Jawa Barat. Dia berharap kejadian itu tidak terulang lagi.
"Bendera yang dibakar bukanlah bendera HTI. Bendera yang dibakar adalah bendera yang berisi kalimat tauhid," kata Hidayat usai berbicara di depan peserta Indonesia Creative Leadership Camp II 2018, Badan Eksekutif Mahasiswa Politeknik Negeri Sriwijaya, Palembang, Selasa (23/10) lalu.
Kementerian Dalam Negeri sudah membedakan antara bendera tauhid dan bendera HTI. Yang tidak diperbolehkan adalah bendera yang ada tulisan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
"Bendera yang dibakar kemarin tidak ada tulisan HTI. Seharusnya pimpinan organisasi itu (Banser) mencegah. Kalau dianggap ada masalah dengan bendera itu seharusnya jangan dibakar," ujar Hidayat seperti dalam siaran persnya.
Dia mengingatkan bahwa bendera dengan kalimat tauhid itu sangat sakral bagi umat Islam. Hari Santri itu terkait dengan peran santri dalam kemerdekaan dengan resolusi jihad pada 22 Oktober 1945. Saat resolusi jihad terbentuk lasykar santri atau lasykar hizzbullah. Lasykar itu punya bendera dengan tulisan kalimat tauhid.
"Kok sekarang kita memperingati hari Santri, ada yang membawa bendera tauhid tanpa tulisan HTI kok malah dibakar," tutur Hidayat heran.
Hidayat meminta peristiwa pembakaran bendera tauhid itu jangan terulang kembali dan harus dilakukan koreksi secara mendasar. Peristiwa ini menurutnya, tak perlu dibesar-besarkan untuk menghindari konflik sesama ormas Islam, sesama anak bangsa. Kasus ini harus didudukan dalam porsi yang sebenarnya. Jangan dilebih-lebihkan dan jangan diplintir sebagai pembakaran bendera HTI.
Peristiwa pembakaran bendera tauhid ini, lanjut Hidayat, justru mengingatkan kembali pada organisasi HTI. "Padahal kita sudah melupakan HTI," ucapnya.