REPUBLIKA.CO.ID, SURAKARTA -- Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid menyerukan kepada seluruh warga negara Indonesia untuk menjaga persatuan bangsa menjelang momentum peringatan Sumpah Pemuda. Hidayat berharap momentum Sumpah Pemuda dengan tiga kesepakatan, yakni satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa menjadi pedoman bagi pemuda dalam memecahkan berbagai persolan dan konflik yang ada.
"Saya prihatin pada saat ini ada konflik. Akan tetapi, perbedaan ini jangan sampai dibawa ke konflik permanen," kata Hidayat saat acara Sosialisasi Empat Pilar MPR RI di Surakarta, Jawa Tengah, Kamis (25/10).
Dia berharap para pemuda Indonesia tidak menjadikan kasus seperti peringatan Hari Santri yang dinilai beberapa kalangan hanya milik golongan tertentu tidak diperpanjang. Terkait dengan pembakaran bendera bertuliskan tauhid, kata dia, juga tidak diperpanjang sehingga mengikis persatuan bangsa.
Semangat Sumpah Pemuda bisa dijadikan semangat untuk mencari solusi bagi para pemuda dan mencermati berbagai persoalan. "Untuk mendapat solusi, pemuda harus paham persoalannya," ujarnya.
Hari Santri, 22 Oktober lalu, ditetapkan sebagai peringatan saat pertama kali KH Hasyim Asy'ari mengemukakan resolusi jihad dan kalimat tauhid yang dijadikan bendera dikerek tinggi.
Namun, dia menyayangkan peristiwa pembakaran bendera berkalimat tauhid itu dibakar saat peringatan Hari Santri. Kendati demikian, dia tetap menyerukan kepada semua pihak untuk menjaga persatuan bangsa dan menyerahkan kasus tersebut ke pihak kepolisian untuk mengusutnya.
"Selesaikan di jalur hukum. Jangan sampai melebar dan dijadikan konflik horizontal antara umat Islam, antara organisasi yang sangat merugikan," kata Hidayat.
Hidayat juga menuturkan bahwa pada awalnya Hari Santri akan diperingati tiap 1 Muharram. Namun, dia tidak menyetujuinya karena 1 Muharram adalah hari seluruh umat Islam di dunia.
"Jangan direduksi. Hari Santri bukan hanya milik satu kelompok, melainkan siapa saja berhak untuk merayakan Hari Santri," ujarnya.
Ia menegaskan bahwa Indonesia yang memiliki dasar negara Pancasila ini sebagai benteng persatuan bangsa. Hidayat mengakui, banyak orang ingin menghilangkan Pancasila. Namun, semua kekuatan itu tidak berhasil karena dasar negara ini berasal dan lahir dari Indonesia.
Ia mencontohkan negara Uni Soviet yang runtuh karena menganut ideologi impor, yakni ideologi komunisme yang diimpor, bukan ideologi yang cocok bagi masyarakatnya dan dipaksakan oleh pemimpinnya.
"Itu yang membuat Uni Soviet pecah tanpa adanya perang," katanya.