REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua MPR periode 2019-2024 Jazilul Fawaid menegaskan perbedaan merupakan hal yang lumrah dalam berdemokrasi. Termasuk dalam menentukan pimpinan MPR. Menurut dia, dinamika yang terjadi di seputar pemilihan Ketua MPR, tidak boleh ditanggapi secara berlebihan. inamika itu, katanya, harus dilihat sebagai sesuatu yang wajar dalam berdemokrasi.
“Biasa saja, jangan dilebih-lebihkan. Perbedaan itu hal yang lumrah dalam berdemokrasi. Bahkan tidak lama lagi kita pasti akan mencapai mufakat, karena semua pihak memang tidak menghendaki adanya voting,” kata Jazilul.
Menurut Jazilul, sembilan Fraksi dan satu kelompok DPD di MPR, berusaha mencapai musyawarah untuk mufakat. Namun karena ada dua kandidat maka harus ada satu yang mau mengalah. Kalau tidak ada yang mengalah, niscaya harus diambil keputusan berdasar suara terbanyak. Tetapi opsi tersebut tidak dikehendaki seluruh Fraksi dan kelompok DPD.
“Keputusan di MPR, itu biasa dilakukan secara musyawarah untuk mufakat. Kali ini pun untuk menentukan Ketua MPR kami ingin melakukan musyawarah mufakat,” kata Jazilul.
Pernyataan itu dikemukakan Jazilul, menjawab pertanyaan wartawan disela acara Sidang Paripurna ke III dengan agenda pemilihan Ketua MPR periode 2019-2024, Kamis (3/10) malam. Acara tersebut berlangsung di Gedung Nusantara Komplek parlemen Jakarta.
Proses pemilihan Ketua MPR, itu berlangsung cukup dramatis. Hingga detik-detik terakhir, terdapat dua calon ketua MPR yang sama-sama dicalonkan. Keduanya adalah Bambang Soestyo anggota Fraksi Partai Golkar, yang didukung 8 fraksi dan Kelompok DPD di MPR. Sedangkan lawannya adalah Ahmad Muzani anggota Fraksi Partai Gerindra, dan hanya di dukung oleh Partai Gerakan Indonesia Raya.
Setelah melalui masa skors dan musyawarah, akhirnya Ahmad Muzani yang juga Sekjen DPP Partai Gerindra rela mundur dari pencalonan Ketua MPR. Mundurnya Muzani membuat Bambang Soesatyo terpilih sebagai Ketua MPR secara aklamasi.