REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr HM Harry M Zein
“Berapa banyak orang yang berpuasa, namun tidak didapatkan dari puasanya itu kecuali rasa haus dan lapar.” (HR Turmudzi)
Secara sederhana, bulan puasa adalah bulan dimana diwajibkan umat Islam (beriman) untuk menahan lapar dan haus sepanjang hari, mulai matahari terbit hingga matahari terbenam.
Sebagaimana Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS al-Baqarah:183).
Namun membaca ayat di atas, puasa bukan sebatas menahan lapar dan haus sejak mulai terbitnya matahari hingga terbenamnya matahari. Rasulullah pernah bersabda bahwa puasa adalah perlindungan, dan perlindungan ini akan bisa dirasakan selama manusia bisa memaknai nilai-nilai puasa yang dijalankannya.
Untuk bisa mengambil makna dari puasa tersebut, dipastikan setiap orang berbeda-beda, dan tergantung dengan tingkat keimanan. Tingkat keimanan itu yang menurut sebagian besar ulama tafsir adalah perbedaan derajat puasa itu sendiri. Maksudnya adalah kemampuan setiap Muslim dalam menjalankan puasa.
Imam al-Ghazali dalam bukunya Ihya Ulumuddin memberikan klasifikasi puasa yang dijalankan yakni dengan tiga tingkatan. Tingkat pertama adalah puasa umum, tingkat kedua puasa khusus dan tingkat paling tinggi adalah puasa khusus yang lebih khusus lagi.
Tingkat puasa umum merupakan tingkatan puasa yang paling rendah, berpuasa hanya sekadar menahan rasa lapar dan haus. Puasa ini termasuk puasa untuk orang awam. Banyak ditemui puasa jenis ini di sekeliling kita, dimana mereka berpuasa, tetapi tetap melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah SWT seperti bergunjing, berbohong atau menipu hingga korupsi.
Mengenai perkara ini, Rasulullah SAW pernah bersabda yang diriwayatkan Turmudzi berbunyi, “Berapa banyak orang yang berpuasa, namun tidak didapatkan dari puasanya itu kecuali hafsu dan lapar.”
Meski bergunjing, berdusta, atau menipu tidak termasuk dalam hal-hal yang membatalkan puasa, tetapi perbuatan tercela itu termasuk bagian yang membatalkan hakikat puasa.
Puasa tingkatan kedua adalah puasa khusus. Artinya adalah berpuasa di samping menahan lapar dan haus, juga memelihara seluruh anggota tubuh dari perbuatan maksiat atau tercela. Puasa khusus juga diartikan berpuasa untuk menahan pendengaran, pandangan, lisan, tangan, kaki dan seluruh anggota badan kita untuk tidak mengerjakan kemaksiatan.
Misalnya menahan telinga kita untuk tidak mendengarkan kebohongan, atau menahan pandangan mata kita untuk tidak melihat hal-hal yang mendorong diri kita untuk berbuat kemaksiatan, serta menahan lisan kita untuk tidak berkata bohong pada orang lain.
Berapa banyak kebohongan yang kita lakukan tanpa kita sadari baik itu bohong yang bersifat sepele maupun besar. Tingkatan puasa ini adalah orang-orang yang shaleh. Rasulullah SAW bersabda, “Puasa adalah perisai (tabir penghalang dari perbuatan dosa). Maka apabila seseorang dari kamu sedang berpuasa, janganlah ia mengucapkan sesuatu yang keji dan janganlah ia berbuat jahil.” (HR Bukhari-Muslim)
Sedangkan tingkatan puasa yang paling tinggi adalah puasa khusus yang lebih khusus. Artinya puasa hati dari segala kehendak hina dan segala pikiran duniawi serta mencegahnya memikirkan apa-apa yang selain Allah. Puasa level ini adalah puasanya para nabi-nabi, shiddiqin, dan muqarrabin.
Puasa khusus yang dikhususkan juga berarti puasa hati dari memperturutkan diri untuk memikirkan hal-hal duniawi, menahan diri dari untuk tetap istiqamah hanya memikirkan Allah dan selalu mengingatnya, jika mendapatkan kenikmatan maka tidak pernah lupa untuk selalu bersyukur dan jika mendapatkan musibah tidak pernah mengeluh, selain hanya berkata "Sesungguhnya kita adalah kepunyaan Allah dan kepada-Nya kita akan kembali".
Inilah derajat tertinggi dari puasa. Kembali pada diri kita sendirilah yang bisa mengukur sampai di derajat manakah puasa yang selama ini kita jalankan. Sudahkah puasa tersebut bisa betul-betul terefleksikan dalam keseharian kita?