Ahad 21 Jul 2013 14:14 WIB

APPSI: Praktik Kartel Pangan Sudah Terasa Sejak Enam Bulan Lalu

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Nidia Zuraya
Stok Pangan (Ilustrasi)
Foto: BERITA JAKARTA
Stok Pangan (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia ( APPSI) menilai praktik kartel dapat dirasakan namun sangat piawai disembunyikan oleh pelakunya. Sekjen APPSI Ngadiran tidak membantah jika praktik kartel memang ada. Pihaknya mengaku sudah merasakannya sejak lebih dari enam bulan yang lalu, namun dengan praktik yang masih halus. Seiring berjalannya waktu, tindakan pelaku kartel untuk menaikkan harga semakin kasar dan kentara.

“Kami sudah sangat merasakan kartel karena harga-harga komoditas-komoditas yang dipermainkan. Meskipun ada faktor iklim, maupun distribusi, tetapi pengaruhnya tidak signifikan,” ujarnya saat dihubungi ROL, Ahad (21/7). 

Ngadiran menjelaskan, harga-harga komoditas impor seperti beras, daging sapi, daging ayam, kedelai, gula, dan jagung merupakan hasil dari tindakan pelaku kartel itu. Pelaku kartel itu yang mengimpor dan menetapkan harga. Jadi pelaku kartel mengatur komoditas apa yang mau dinaikkan harganya. Padahal, tambahnya, para pedagang kecil atau pedagang di pasar tidak menikmati keuntungan kenaikan harga komoditas ini.

Ia mencontohkan, pihaknya memperoleh keuntungan Rp 2.000 per kilogram (kg) saat harga daging sapi Rp 30 ribu per kg. Kemudian ketika harga daging mencapai Rp 60 ribu per kg, keuntungan yang diperoleh yaitu Rp 3.000 per kg. Saat harga daging sapi menembus Rp 100 ribu per kg, pihaknya menikmati untung Rp 4.000- Rp 5.000 per kg. “Harga daging sapi naik sampai tiga kali lipat, namun kami hanya menikmati keuntungan maksimum Rp 3.000 per kg saja,” ungkap Ngadiran.

Padahal, lanjutnya, para pedagang kecil harus meminjam uang untuk modal berjualan. Artinya antara beban uang untuk modal usaha meningkat termasuk ditambah biaya lainnya seperti ongkos transportasi. Namun pihaknya menerima pendapatan bersih yang tidak berubah dari sebelumnya.

Meski demikian, menurut Ngadiran, masyarakat ada yang tidak percaya dan menuduh pihaknya menjadi pelaku kartel. Akhirnya masyarakat beralih ke toko modern atau supermarket. Apalagi supermarket menjual dengan harga yang lebih murah. “Padahal yang melakukan kartel adalah pedagang besar atau pengusaha,” tuturnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement