REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Prof Nasaruddin Umar
Suatu ketika Nabi Muhammad SAW melewati kerumunan orang yang sedang bergurau sambil tertawa terbahak-bahak, lalu Rasulullah mengingatkan mereka: “Mengapa kalian tertawa terbahak-bahak, sedangkan api neraka mengintai di belakang kalian? Demi Allah aku tidak senang melihat kalian tertawa seperti itu."
Dalam hadis lain dikisahkan, Nabi menghampiri sekelompok orang tengah bercanda sambil tertawa terbahak-bahak seraya mengucapkan salam kepada mereka. Setelah mereka menjawab salam, Nabi mengingatkan: “Ingatlah, demi Zat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, seandainya kalian mengetahui sebagaimana apa yang aku ketahui, maka kalian akan sedikit tertawa dan lebih banyak menangis.”
Seketika itu mereka diam. Nabi berpamitan meninggalkan mereka, lalu para sahabat itu tenggelam dalam tafakur sambil merenungi teguran Nabi. Dalam hadis lain Nabi bersabda, “Orang yang tertawa terbahak-bahak akan dicabut berkah dari wajahnya.” Dalam satu qaul disebutkan, “Bulan suci Ramadhan adalah bulan untuk menangisi dosa-dosa masa lampau.”
Tertawa itu manusiawi, tetapi Nabi membedakan dua macam tertawa. Ada tertawa dalam arti tersenyum (al-basyasyah) dan tertawa terbahak-bahak (al-dhahhaq). Tertawa pertama dianjurkan, bahkan dinyatakan dalam hadis: Al-Basyasyath sunnah (Tersenyum itu sunat).
Dalam satu riwayat lain dikatakan, Al-basyasyah shadaqah (Memberi senyum kepada orang itu sedekah). Karena itu, kita dianjurkan untuk lebih banyak tersenyum sebagai salah satu wujud silaturrahim kita kepada sesama umat manusia tanpa membedakan jenis kelamin, etnis, dan agama.
Hal yang memprihatinkan kita ialah banyak sekali kita disuguhkan pemandangan selama bulan Ramadhan dengan tertawa terbahak-bahak. Bukan hanya pada waktu siang, melainkan juga pada waktu malam yang seharusnya kita banyak bermuhasabah dan bermujahadah, mengingat kematian, mengingat dosa-dosa, dan membayangkan neraka yang selalu mengintip kita, malah digunakan untuk tertawa dan mabuk-mabukan di depan kamera atau di depan televisi.
Lihatlah pada hampir semua program TV dipadati dengan lawak dan banyolan sepanjang malam. Sejumlah program TV dan radio seolah mengajak para pemirsa dan pendengarnya untuk mabuk-mabukan. Hal ini pasti tidak sejalan, bahkan bertentangan dengan harapan Rasulullah SAW.
Saat-saat menjelang sahur seharusnya kita semakin syahdu mencari berkah tengah malam. Kalau perlu, tersungkur menangisi dosa dan kegelapan masa lampau kita mumpung masih bulan suci Ramadhan. Kita memohon pengampunan terhadap “kegilaan” masa lampau yang pernah kita lakukan. Bukannya kita menyerupai orang mabuk di tengah keheningan malam Ramadhan.
Semua pihak seharusnya merenung dan memikirkan hal ini. Terutama kepada para pemilik TV, sponsor, sutradara, pemain, dan semua pihak yang mendukungnya, termasuk para pemirsa yang ikut mabuk di depan TV mereka masing-masing.
Mengapa mereka berani menjual “kegilaan” di keheningan malam Ramadhan. Itu bisa diartikan sebagai pelecehan malam kemuliaan Ramadhan (lailatul qadar). Jangan-jangan ini lebih besar dampak negatifnya daripada rumah-rumah hiburan malam yang dikunjungi segelintir orang.
Apakah ada berkah uang dan rezeki yang diperoleh melalui pelanggaran etika spiritual seperti itu? Hal yang memabukkan (al-muskir) bukan hanya secara harfiah berarti zat yang memabukkan, seperti minuman keras ataupun narkoba, melainkan keadaan tertentu yang diciptakan menyebabkan kita mabuk kesetanan dan lupa terhadap Tuhan. Itu juga bisa disebut al-muskir. Ingat hadis Nabi: Kulu muskirun haramun (Segala sesuatu yang memabukkan itu haram.”
Ingat hadis lain: “Setiap darah-daging yang tumbuh di dalam diri berasal dari yang haram hanya akan bisa dibersihkan dengan api neraka.” Na’udzubillah.
Dalam keheningan malam, Alquran mengimbau kita untuk merenung, kalau perlu disertai air mata, seperti dalam firman-Nya: "Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis." (QS al-Isra [17]: 109). "Mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis." (QS Maryam [19]: 58).