REPUBLIKA.CO.ID, Oleh HM Rizal Fadillah
Hari-hari akhir bulan suci Ramadhan telah terasa hawanya. Kekuatan sentripetal iman bertarikan dengan kekuatan sentrifugal dunia. Masjid diisi dengan sejumlah minim orang beritikaf. Mall dan pusat perbelanjaan diisi dengan hiruk pikuk dan sesaknya orang yang bersiap untuk lebaran. Jalan kemanapun macet.
Proyek-proyek kalau bisa diselesaikan, sekurangnya yang pokok telah disepakati. Pegawai kantor merapihkan dokumen dan agenda “berat” ditunda hingga awal masuk nanti, walau prakteknya baru mulai setelah beberapa hari kemudiannya. Semua maklum akan hal itu. Bank jauh jauh hari sudah umumkan akan tutup dini.
Mudik telah digadang-gadang. Ada yang memang benar pulang untuk bersilaturahmi di kampung, ada pula yang nyatanya hanya mau berlibur. Kendaraan disiapkan, baik milik sendiri maupun sewaan. THR menjadi kata yang paling populer, dibahas, dituntut, bahkan ada juga yang didemo dengan garang. Seluruhnya menjadi bagian dari dinamika akhir Ramadhan.
Allah tentu memahami sifat insan yang mudah tersedot oleh kekuatan magnetik kepentingan pendek. Bila tak dikendalikan maka semua ibadah yang dikerjakan akan menjadi sia sia dan berujung pada akhir yang buruk. Oleh karenanya Allah mengingatkan ada “lailatul qadr” di akhir Ramadhan dan Rosulullah menyatakan saat ini adalah marhalah akherat “itqun minan naar” (penjagan dari api neraka), setelah dilalui fase “maghfirah”(ampunan) dan “rahmah” (kasih sayang).
Ada empat aspek penting dalam mengakhiri Ramadhan. Pertama i’tikaf yang artinya berhenti sejenak untuk mendekat kepada Allah SWT. Jika mampu kita masuk ke Masjid selama sepuluh hari terakhir tentu hal itu sangat baik, jika tak mampu maka jadikanlah tempat kita beraktivitas tetap sebagai “tempat sujud” dan “beritikaf” mendekatkan diri kepada Allah. Semoga berkah lailatul qadr tetap didapat meskipun kita tidak berada dalam ruang Masjid.
Kedua, akhir Ramadhan adalah saat turunnya Alquran dahulu, dan kini ayat-ayat Quran itu turun ke hati-hati insan yang sedang beribadah shaum. Khatam membaca dan memahami Al Qur’an merupakan happy ending bagi fikiran yang tercerahkan.
Ketiga, berzakat khususnya membayar zakat fitrah. Harta yang ada adalah rezeki dari Allah yang kadang lupa dimaknai dengan benar, dan karenanya, harus dikoreksi terus menerus. Zakat fitrah dalam sabda Nabi adalah upaya membersihkan “minal laghwi” (dari kesia-sian) dan “minar rafatsi” (dari kenistaan).
Shaum atau perilaku kita banyak cacatnya hingga perlu ditolong oleh ibadah ini. Demikian juga zakat fitrah dapat membahagiakan orang lain dengan “makanan yang mengenyangkan”. Dari suatu kewajiban ternyata terbangun budaya peduli tinngi pada kebutuhan orang lain.
Keempat, bersiap untuk sampai pada idul fitri hari raya mengagungkan Allah dengan bertakbir, melaksanakan shalat sunnat berjamaah, lalu bermaaf-maafan serta silaturahim. Hari kembali ke kesucian diri yang penuh dengan ampunan Ilahi.
“Akhir itu lebih baik daripada awal” menurut ayat. Karenanya akhir Ramadhan harus lebih berkualitas ketimbang sebelumnya. Bukan sebaliknya. Disinilah komitmen itu harus dicanangkan. Apakah Ramadhan saat ini ingin menjadi Ramadhan yang terbaik ? Jika ya, maka tak ada jalan lain yang harus ditempuh selain mengikuti petunjuk-Nya untuk melangkah dengan gagah di jalur akidah, syari’ah, dan semangat mashlahah dalam bermuamalah.
Perubahan karakter adalah target yang senantiasa dievaluasi setiap tahap. Shaum tidak berakhir di lapar dan dahaga, melainkan pada peningkatan jiwa yang semakin sadar dan takwa. Sedikit tawa dan canda, banyak air mata dan karya. Hanya mereka yang percaya bahwa shaum adalah sarana untuk membentuk akhlak mulia, akan memperoleh hasil yang bermakna yaitu dunia yang bahagia dan kegembiraan Surga.