Oleh Erik Purnama Putra
REPUBLIKA.CO.ID, Bagi Dini Fitria (31 tahun), melakukan perjalanan jurnalistik ke luar negeri adalah hal biasa. Namun, presenter program “Jazirah Islam” di Trans 7 ini mengaku mendapat berkah tersembunyi ketika mendapat tugas meliput dunia Islam di negara Eropa maupun Amerika Utara.
Sosok yang akrab di panggil Dini ini mengaku, banyak pelajaran dari interaksi dengan beragam karakter umat Islam di negara yang masyarakat Muslim menjadi minoritas.
“Ada hikmah sejarah, perjuangan, dan persahabatan yang bisa kita petik,” kata perempuan yang merangkap sebagai produser program khusus Ramadhan ini kepada Republika, belum lama ini.
Dalam tiga tahun terakhir, beberapa negara yang pernah disinggahi Dini untuk program “Jazirah Islam”, antara lain, Austria, Belanda, Italia, Jerman, Prancis, Spanyol, Argentina, Meksiko, dan Brasil. Adapun, negara Asia yang dikunjunginya adalah Thailand, Cina, India, dan Korea Selatan.
Di beberapa negara itu, putri dari pasangan Syamsul Bahri Yunus dan Roslaini Rasyad ini melakukan liputan dokumenter tentang perjuangan umat Islam dalam menjaga eksistensi komunitasnya.
Ia menuturkan, pengalaman mengharukan didapatnya ketika meliput Mezquita Catedral di Kordoba, Spanyol. Bangunan masjid yang sudah menjadi tempat peribadatan warga Katolik itu begitu memikatnya. Ia merasa seperti masuk ke lorong waktu para era kejayaan Islam di Benua Biru.
Tak terasa, air mata Dini terurai saat melihat mihrab masjid telah beralih menjadi altar gereja. “Miris sekali,” akunya. Kesedihannya semakin mendalam ketika Abdul Bahri, seorang Muslim yang menjadi pengantarnya, menuturkan masyarakat Negeri Matador itu memberi stigma buruk terhadap Islam yang selalu dikaitkan dengan isu teroris.
Bertemu mualaf
Pengalaman menarik juga didapat Dini di Italia. Bungsu dari lima bersaudara ini bertemu dengan dua sosok Muslim yang mampu menginspirasinya. Mereka adalah Wali Kota Monte Argentario Arturo Cerully dan fotografer Steffano Romano yang keduanya merupakan mualaf.
Khusus Arturo Cerully, ia merupakan wali kota Muslim pertama di Negeri Piza. Ia memilih Islam karena ajaran kemasyarakatan dan kenegaraan, serta mengikuti agama yang dianut istrinya.
Adapun, Steffano Romano memeluk Islam lewat karya fotografinya tentang perempuan berjilbab. Kecintaannya terhadap ajaran Rasulullah ini mampu membuat keduanya meninggalkan agama leluhurnya.
Pengalaman spiritual paling puncak didapatnya saat berkesempatan menyaksikan beberapa orang dari berbagai negara di Eropa merasa mantap ingin masuk Islam. Proses pengucapan kedua kalimat syahadat calon mualaf mampu menggetarkan hatinya.
Perempuan kelahiran Padang, 23 Maret 1982, ini sangat tergugah setiap kali mengingat momen itu. Pasalnya, untuk memeluk Islam, bukan sebuah pilihan mudah dan memerlukan perjuangan cukup berat bagi warga Eropa.
Rata-rata, mereka yang masuk Islam lebih karena tertarik dengan isi Alquran yang dianggap sangat rasional dan tidak menimbulkan perdebatan. “Karena itu, saya selalu bersyukur memeluk Islam sejak kecil.”
Merasa menemukan Islam di Eropa, ia dibuat terkesima dengan warga Muslim di sana. Ini lantaran rasa persaudaraannya yang sangat kuat di tengah pandangan minor yang diterimanya.
Fakta itu juga dirasakan Dini yang selalu dicurigai petugas di bandara hingga memaksanya harus melepas jilbab yang dikenakannya lantaran dicurigai sebagai teroris.
“Islam di Eropa hanya satu. Mereka tidak membedakan Suni, Syiah, Muhammadiyah, atau NU. Islam ya Islam,” celetuknya.
Di belahan bumi lainnya, perjalanan Dini mengantarkannya bertemu dengan keluarga Indian Muslim yang tinggal di Chiapas, Meksiko. Di daerah kaya sumber daya alam ini, warga setempat masih hidup terbelakang lantaran terlena dengan kehidupan yang dekat dengan alkohol, judi, dan hukum rimba.
Mayoritas warga suku Indian itu yang menjadi penganut animisme berusaha mencari kedamaian dengan memeluk agama Katolik maupun Protestan yang disebarkan masyarakat Eropa. Namun, lanjut Dini, ketenangan yang diharapkan tidak juga ditemukan.
Alhasil, pencarian keluarga itu mengantarkannya mengenal Islam dari kelompok pendatang Muslim asal Spanyol. “Islam menjadi alternatif yang menarik karena bisa mengerem kebiasaan buruk mereka,” katanya.
“Sayang, sekali lagi isu-isu terorisme membuat mereka takut dan akhirnya termarginalisasi,” kata alumnus Universitas Andalas, Padang, ini.
Menulis novel
Meski hasil reportasenya telah muncul di televisi, Dini merasa belum puas lantaran tidak semuanya tergambarkan. Ini mengingat tayangan dokumenter lebih menonjolkan aspek objektivitas. Atas dasar itu, ia tertarik menuliskan pengalaman subjektifnya ke dalam sebuah novel berisi kisah nyata.
“Alhamdulillah, novel religius ini bisa terbit,” katanya. Karya perdananya itu berjudul Scapa per Amore. Judulnya yang memakai bahasa Italia itu merupakan usulan istri Arturo Cerulli, Sri Semiarti Sastropawiro, yang berarti lari karena cinta.
Scapa per Amore bercerita perjalanan cinta seorang jurnalis televisi, Diva, yang harus memilih antara melanjutkan hubungan dengan tunangannya yang retak atau menerima tugas liputan ke luar negeri. Di tengah kegalauannya, Diva menjatuhkan pilihan memilih menunaikan tugas profesionalnya.
Harapannya, dengan pengalaman spiritual selama liputan akan diperoleh perenungan untuk menentukan langkah berikutnya. Dan, benar saja, perjalanan liputan itu ternyata menggugah banyak makna dan inspirasi.