Muhasabah Akhir Ramadhan

Red: Damanhuri Zuhri

Ahad 04 Aug 2013 18:32 WIB

KH Didin Hafidhuddin Foto: ROL/Sadly Rachman KH Didin Hafidhuddin

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Prof Dr KH Didin Hafidhuddin

Hari ini, Ahad 4 Agustus 2013, bertepatan dengan 26 Ramadhan 1434 H, adalah Ahad terakhir kita berada di bulan suci Ramadhan yang penuh dengan keberkahan, kemuliaan dan keagungan.

Sudah sepantasnya apabila di hari-hari terakhir ini, di samping kita mengoptimalkan ibadah kepada Allah SWT, juga kita melakukan introspeksi sejauh mana pengaruh positif ibadah shaum ini terhadap akhlak dan perilaku keseharian kita.

Karena sesungguhnya indikator keberhasilan suatu ibadah, di samping ditentukan pada saat ibadah tersebut dilakukan, juga pada perilaku sesudahnya.

Shalat yang kita dirikan, misalnya, akan menjadi shalat yang makbulah (diterima) manakala shalat tersebut dilakukan dengan penuh kesungguhan, memenuhi syarat dan rukunnya, dan dapat mencegah kita dari perbuatan keji dan munkar (QS Al-Ankabut: 45).

Ibadah haji yang beberapa bulan lagi akan ditunaikan sebagian kaum Muslimin, kemabrurannya di samping ditentukan oleh kegiatan-kegiatan ibadahnya, juga ditentukan oleh perilaku sesudahnya.

Imam Hasan Al-Basri (Fiqh Sunnah Jilid V) menyatakan haji mabrur itu adalah an yakuuna ahsana min qoblu wa an yakuuna qudwata ahli baladihi (perilakunya jauh lebih baik dibandingkan dengan sebelum haji dan menjadi panutan bagi masyarakat sekitarnya).

Internalisasi karakter dan perilaku baik yang diajarkan ibadah shaum dan ibadah lain yang terkait dengannya, sehingga menjadi sebuah kepribadian yang melembaga dalam kehidupan kita, adalah hal yang sangat penting untuk menilai sejauh mana ibadah shaum kita diterima Allah SWT.

Juga sejauh mana ketaqwaan kita semakin meningkat, sesuai dengan tujuan disyariatkan ibadah shaum itu sendiri (QS Al-Baqarah: 183).

Beberapa perilaku positif yang dihasilkan melalui ibadah shaum, antara lain sebagai berikut: Pertama, selalu sabar dan ulet dalam mengerjakan perbuatan-perbuatan baik yang diperintahkan dan meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk yang dilarang, meskipun menghadapi berbagai macam godaan dan tantangan.

Orang yang sabar tidak akan pernah frustasi dan putus asa dalam menata kebaikan. Karena sesungguhnya tantangan dan kesulitan merupakan sunnatullah dalam kehidupan (sunnatullah fi al-hayat).

Sifat sabar merupakan sumber energi dan kekuatan yang tidak akan pernah habis dan tidak akan pernah melemah. Ibadah shaum sejatinya melatih kesabaran dan keuletan pada tingkat yang optimal.

Oleh karena itu, orang yang berpuasa akan selalu optimis dalam menebarkan kebaikan dan dalam melaksanakan amar makruf nahyi munkar.

Kedua, berusaha untuk selalu jujur dan amanah dalam segala hal, terutama dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Jujur dan amanah adalah sumber kebaikan sekaligus sumber kekayaan. Karena itu, orang yang jujur dan amanah akan selalu kaya secara batin dan secara lahir.

Rasulullah SAW bersabda: “Sifat amanah dan jujur itu akan menarik rezeki, sedangkan khianat itu akan menarik (mengakibatkan) kefakiran.” (HR Dailamiy).

Bahkan di dalam hadis yang lain, Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada iman bagi orang yang tidak amanah, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak pernah menepati janji.” (HR Ahmad).

Kekisruhan dan kesemrawutan yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini karena banyak orang yang mendapatkan jabatan publik yang tidak amanah.

Banyak di antara mereka yang ingin cepat kaya dan ingin cepat mendapatkan posisi dan jabatan yang tinggi, sehingga menghalalkan segala macam cara untuk mendapatkannya. Allah SWT sangat membenci orang (apalagi pejabat publik) yang melakukan pengkhianatan.

Hal ini sebagaimana firman-Nya dalam QS Al-Anfal: 27-28 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.”

Ketiga, selalu berusaha untuk menjadi orang yang disiplin dalam segala hal. Disiplin terhadap aturan dan juga disiplin dalam memanfaatkan waktu untuk hal-hal yang positif dan konstruktif.

Kedisiplinan yang diajarkan selama ibadah shaum akan melahirkan produktifitas yang tinggi, seperti yang dicontohkan oleh para sabahat Nabi dan generasi salafu as shaleh.

Malam hari mereka mempergunakan waktunya untuk bermunajat kepada Allah SWT, di samping untuk beristirahat (tidur), sedangkan siang hari mereka sibuk dalam mencari nafkah dan rezeki yang halal.

Akibatnya, kegiatan ekonomi yang dicirikan dengan tumbuhnya sektor riil dan sektor usaha masyarakat berjalan dengan baik dan dikuasai sepenuhnya oleh kaum muslimin.

Bahkan, yang menarik adalah kegiatan ekonomi mereka dikaitkan dengan kegiatan shalat lima waktu. Kegiatan ekonomi terhenti selama shalat berlangsung secara berjamaah dan dibuka kembali langsung setelah shalat selesai. Terbukti, dengan kedisiplinan yang tinggi, akan meraih keuntungan duniawi dan ukhrowi secara simultan.

Keempat, akan selalu berusaha untuk berinfak dan bersedekah setelah menunaikan kewajiban zakat. Mengeluarkan infak dan sedekah merupakan wujud dari syukur kepada Allah SWT atas nikmat harta yang diberikan-Nya sekaligus wujud dari kasih sayang dan cinta terhadap sesama.

Karena itu, orang yang selalu berinfak dan bersedekah tidak akan pernah habis hartanya dan akan selalu dicintai sesamanya.

Rasulullah SAW bersabda: “Sikap rendah hati itu hanya akan menambah seseorang makin menjadi mulia, maka dari itu berlaku rendah hatilah kalian, niscaya Allah SWT akan memuliakanmu. Sikap pemaaf hanya akan menambah seseorang makin mulia, oleh karena itu banyak maaflah kalian, niscaya Allah SWT akan memuliakanmu. Dan amal sedekah itu hanyalah akan menambah seseorang makin banyak hartanya, maka bersedekahlah kalian, niscaya Allah SWT akan melimpahkan rahmat-Nya kepada kalian”. (HR Ibnu Abu Dunya). Juga sabdanya: “Tidak akan pernah berkurang harta yang dikeluarkan sedekahnya” (HR. Ahmad).

Kelima, akan selalu menjadikan istighfar (memohon ampun kepada Allah) sebagai pakaian kesehariannya. Kapan dan di mana pun, dan terutama di sepertiga malam yang terakhir (waktu sahur), selalu memohon ampun kepada Allah SWT atas dosa dan kesalahannya.

Orang yang selalu beristighfar akan memiliki hati yang bersih, pikiran yang jernih, husnudzan (berbaik sangka) kepada Allah dan jauh dari sifat riya, sombong, takabur, hasud, dan dengki kepada sesama manusia.

Jadilah ia sebagai penebar kebaikan, cinta dan kasih sayang. Melalui perilakunya itu, Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin akan terlihat dengan jelas dan nyata. Tidak ada kesenjangan antara ajaran Islam yang indah dengan akhlak mulia umatnya.

Keenam, akan selalu berusaha membudayakan amal jama'i, baik dalam ibadah maupun muamalah. Selama bulan Ramadhan, hampir semua masjid, di kampung, di kota, di komplek perumahan, di perkantoran, di kampus, bahkan juga masjid maupun mushalla di pasar selalu diramaikan oleh kaum muslimin yang melaksanakan shalat lima waktu secara berjamaah, dan demikian pula shalat sunnah tarawih. Bahkan juga ta’jil (buka shaum bersama) dan tadarus Alquran pun dilakukan secara bersama-sama pula.

Jika kebiasaan ini dilakukan secara terus-menerus sehingga menjadi budaya yang dibutuhkan dan ditunggu-tunggu, kita yakin akan terjadi perubahan yang signifikan ke arah yang lebih baik dari kualitas umat.

Sebab, jika kita lihat dalam Alquran dan sejarah, salah satu penyebab utama umat Islam pada zaman Nabi dan para sahabat memiliki izzah (harga diri) ketika berhadapan dengan orang-orang kafir dan memiliki kelembutan serta kasih sayang di antara sesamanya, karena mereka sering melakukan ruku’ dan sujud secara bersama-sama (shalat berjamaah) yang hanya mengharapkan ridha Allah SWT. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam QS Al-Fath: 29.

Jika kaum muslimin sudah membiasakan shalat berjamaah, meramaikan dan memakmurkan masjid, dan menganggap hal itu sebagai sebuah kebutuhan, diharapkan akan tergerak hatinya untuk berjamaah dalam bidang muamalah dalam membangun kekuatan umat.

Seperti membangun pendidikan yang berkualitas, yang terjangkau oleh semua lapisan masyarakat, membangun institusi kesehatan yang memungkinkan kaum dhuafa memiliki akses terhadapnya, membangun institusi ekonomi yang mengangkat ekonomi umat, dan lain sebagainya.

Hal ini sangat dimungkinkan, karena untuk saat sekarang ini, Alhamdulillah sumber daya manusia (SDM) muslim yang berkualitas sudah cukup tersedia, tinggal bagaimana mengatur dan mensilaturrahmikannya.

Demikian pula, potensi dana yang terdapat pada zakat, infaq, dan sedekah (ZIS) sangat besar, yaitu + Rp 217 triliun setiap tahunnya (menurut hasil penelitian BAZNAS dan IPB, 2011), meskipun dana ZIS yang teraktualisasikan saat ini masih sangat kecil, belum mencapai angka dua trilyun rupiah.

Jika hal ini dilakukan secara bersama-sama atas dasar ukhuwwah islamiyyah, maka kaum musliminn dapat membangun dirinya sendiri dengan kekuatan sendiri pula.

Angka kemiskinan, pengangguran, dan kebodohan dapat diminimalisir, walaupun tidak dapat dihilangkan. Sungguh sangat luar biasa dampak dari berjamaah ini, akan mengundang rahmat dan pertolongan Allah SWT.

Hal ini sebagaimana firman-Nya dalam QS At-Taubah: 71 “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma`ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

   

Mudah-mudahan ibadah shaum kita diterima Allah SWT dan dapat meningkatkan kualitas ketaqwaan yang tercermin dalam kehidupan keseharian kita.

Terpopuler