REPUBLIKA.CO.ID, STOCKHOLM -- Selama 25 tahun, Ibrahim tak percaya akan eksistensi Tuhan. Ia lebih mempercayai hal yang berwujud.
Namun, sang pencipta punya caranya sendiri guna mengingatkan kembali Ibrahim akan kekuasaan Tuhan. Semasa SMA, ia bukanlah seorang yang 'kutu buku'. Namun, ada satu buku yang selanjutnya membuatnya rajin membaca. Buku itu adalah terjemahan Alquran berbahasa Swedia.
Ibrahim membaca beberapa ayat, namun ia tidak ingat surat apa yang dibacanya. Ketika membacanya, ia merasa ayat-ayat itu begitu logis dan masuk akal. Memang, saat itu ia belum percaya seratus persen akan eksistensi Tuhan. "Saya tetap tidak bisa memasukan kata 'Tuhan' dalam kehidupan saya," katanya seperti dilansir onislam.net, Kamis (15/8).
Selepas SMA, ia meminjam sejumlah uang guna menyewa apartemen. Di sana, ia mulai menjadi fotografer amatir dan mulai sibuk merintis kariernya itu. Suatu waktu, ia mendokumentasikan pasar swalayan. Tak sengaja ia mengabadikan seorang ibu dan anak perempuan berjilbab.
Melihat ibu dan anak ini, ia jadi teringat apa yang dibacanya ketika itu. Spontan saja, ia menghubungi Islamic Information Organization di Swedia. Kepada mereka, Ibrahim meminta literatur dan terjemahan Alquran.
Setiap hari, ia baca Alquran. Semakin intensif, Ibrahim kian merasa Alquran itu begitu indah dan logis. Tak lama, ia mendapat permintaan untuk mendokumentasikan keindahaan sebuah pulau. Selesai bekerja, seperti biasa ia mengakses internet. Tak sengaja ia berbincang dengan seorang perempuan Muslim bernama Shahida di jejaring MSN.
Bersama Shahida, Ibrahim terlibat diskusi tentang Islam. Shahida tak kesulitan mengimbangi sikap kritis Ibrahim. Ibrahim dinasihati Shahida agar mendengarkan kata hatinya guna menemukan kebenaran hakiki.
Ketika diperjalanan dari rumah menuju tempat kerja, selama itu ia menyaksikan pemandangan yang begitu luar biasa ketika pagi hari. Sekelebat, ia tidak percaya keindahan ini tercipta dengan sendirinya. Keindahan ini pasti ada yang membuatnya.
Suatu hari, ia memutuskan untuk mengunjungi AS. Di sana, Ibrahim mulai belajar berdoa dan merasakan kehadiran Tuhan. Ia pun menyempatkan diri bertemu Shahida. Sekembalinya ke Swedia, ia intensifkan membaca Alquran, menyambangi masjid dan berdialog dengan Muslim.
Ibrahim begitu bersemangat setiap kali menyambangi masjid. Di masjid, ia mendapatkan sambutan hangat. Dengan tangan terbuka, umat Islam di sana, menerima Ibrahim. Saat itulah, ia seperti telah menjadi Muslim.
"Yang menjadi pemikiranku, seberapa siap saya bisa melaksanakan shalat lima waktu, tidak mengkonsumsi babi, lalu bagaimana reaksi keluarga dan teman," tuturnya.
Seiring kemantapan hati Ibrahim. Ketakutan itu hilang sendirinya. Teman-teman, utamanya keluarganya menerima keputusannya untuk menjadi Muslim. Pada akhirnya, tepat setelah Shalat Dzuhur, Ibrahim mengucapkan dua kalimat syahadat. Alhamdulillah.