REPUBLIKA.CO.ID, Oleh M Husnaini
Peribahasa mengatakan, “Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”. Maksudnya, perilaku seorang anak umumnya tidak akan jauh berbeda dari perilaku orang tuanya. Ringkas kata, orang tua yang baik biasanya melahirkan anak yang baik. Demikian pula sebaliknya, anak yang durhaka biasanya lahir dari orang tua yang durhaka pula.
Dalam istilah lain, orang tua bisa diibaratkan mata air dan anak laksana aliran sungainya. Maksud dari perumpamaan ini, mata air yang bersih akan mengalirkan air yang jernih. Sementara, mata air yang kotor tentu mengalirkan air yang keruh. Itulah hukum alam alias sunnatullah yang berlaku di jagat raya ini.
Dari sejarah kita mendapatkan informasi seputar sosok-sosok orang tua saleh yang juga memiliki anak-anak saleh. Sebut saja, misalnya, Nabi Ibrahim (1997-1822 SM) yang memiliki putra Nabi Ismail (1911-1774 SM) dan Nabi Ishak (1897-1717 SM), Nabi Ya’kub (1837-1690 SM) memiliki putra Nabi Yusuf (1745-1635 SM), Nabi Daud (1041-971 SM) memiliki putra Nabi Sulaiman (989-931 SM), dan Nabi Zakaria (91 SM-1 M) memiliki putra Nabi Yahya (31 SM-1 M).
Kendati demikian, realitas sejarah juga menunjukkan bahwa peribahasa yang sudah sekian lama kita amini itu tidak mutlak kebenarannya. Fakta demikian dikonfirmasi oleh praktik keseharian kita. Bahkan, Al-Qur’an sendiri banyak bercerita tentang beberapa orang tua yang sangat taat tetapi justru melahirkan anak-anak yang luar biasa jahat. Dengan demikian, Al-Qur’an seolah menegaskan kepada kita bahwa buah memang bisa saja jatuh jauh dari pohonnya.
Simak kisah Qabil, putra sulung Nabi Adam (5872-4942 SM). Meski putra kandung seorang utusan Allah yang mulia, pembunuhan pertama dalam sejarah manusia justru dilakukan Qabil. Kedengkian telah mendorongnya tega menghabisi adik kandungnya, Habil. Melihat kurban kambing milik Habil diterima Allah sementara kurban gandumnya ditolak, muncul amarah di hati Qabil. Ditambah keputusan sang ayah untuk menikahkan dirinya dengan Labuda yang jelek, sementara Habil dengan Iklima yang molek, dendamnya semakin membara. Bulat sudah hatinya untuk melenyapkan nyawa Habil yang sama sekali tidak berdosa.
“...ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Dia (Qabil) berkata, ‘Aku pasti membunuhmu!’ Habil berkata, sungguh Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa. Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sungguh aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam’.” [QS Al-Maidah: 27-28].
Kisah serupa juga terjadi pada Kan’an, putra sulung Nabi Nuh (3993-3043 SM). Menurut Salim Bahreisyi, Nabi Nuh adalah keturunan Nabi Adam yang kesembilan dan merupakan Nabi keempat sesudah Nabi Adam, Nabi Syits (3630-2718 SM), dan Nabi Idris (4533-4188 SM). Ayahnya bernama Lamik bin Metusyalih bin Idris. Tidak kurang 950 tahun, Nabi Nuh mengajak kaumnya kepada ajaran tauhid. Meski siang dan malam berdakwah dalam durasi waktu sepanjang itu, jumlah pengikut Nabi Nuh hanya 70 orang dan delapan anggota keluarganya.
Ironisnya, para penentang Nabi Nuh bukan hanya dari orang luar, melainkan juga putra kandungnya sendiri, Kan’an. Kedurhakaan Kan’an sungguh antitesis dari ketaatan sang ayah. Bahkan, Kan’an masih kukuh pada pendiriannya ketika Allah sudah menurunkan azab berupa banjir dahsyat. Dia tetap ogah turut dalam rombongan kapal Nabi Nuh. Berulang kali Nabi Nuh memanggilnya, tetapi Kan’an memilih untuk menaiki gunung tertinggi yang dipikirnya dapat menyelamatkan dirinya dari luapan banjir bandang itu.
Seketika tubuh Kan’an disambar gelombang ganas, sehingga lenyap dari pandangan mata ayahnya. Timbullah naluri kebapakan Nabi Nuh. Seraya menanggung duka, Nabi Nuh mengadukan keluh kesah kepada Allah. Tetapi, Allah menjawabnya dengan perintah supaya dia mencoret Kan’an dari daftar nama keluarganya, karena telah menyimpang dari ajaran kebenaran. Kedukaan Nabi Nuh itu direkam dengan jelas dalam Al-Qur’an.
“Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata, ‘Ya Tuhanku, sungguh anakku itu termasuk keluargaku, dan sungguh janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah hakim yang seadil-adilnya’. Allah berfirman, ‘Wahai Nuh, sungguh dia bukanlah termasuk keluargamu. Sungguh (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat)nya. Sungguh Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan’.” [QS Hud: 45-46].
Kisah Al-Qur’an berhenti di situ. Dibeberkan pula kisah-kisah seputar sosok terhormat yang justru lahir dari orang tua terlaknat. Lihatlah Nabi Ibrahim. Nabi dan Rasul keenam yang dilahirkan di sebuah tempat bernama Faddam A’ram di wilayah Babilonia itu dikenal sebagai Abu Al-Anbiya’ (Bapak Para Nabi). Di negeri yang subur dan makmur itu, Nabi Ibrahim berdakwah kepada para penyembah berhala yang dikomandani Namrud bin Kan’an bin Kusi (2275-1943 SM), penguasa Babilonia kala itu. Nabi Ibrahim bahkan satu-satunya orang yang berani menghancurkan patung-patung berhala yang menjadi sesembahan penduduk negerinya.
Putra siapa gerangan Nabi Ibrahim yang tangguh dan gagah berani itu? Azar bin Nahur, begitulah nama ayahnya. Dia adalah seorang pemahat dan penjual patung berhala. Melihat kegigihan Nabi Ibrahim memberangus patung-patung berhalanya, tentu saja Azar marah hebat. Nabi Ibrahim kerap menerima cemoohan, kekasaran, bahkan pengusiran dari ayahnya. Al-Qur’an mengisahkan betapa dakwah santun dari Nabi Ibrahim kepada ayahnya disambut dengan cacian dan sumpah serapah.
“...‘Wahai Bapakku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolongmu sedikit pun. Wahai Bapakku, sungguh telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai Bapakku, jangan engkau menyembah setan. Sungguh setan itu durhaka kepada Tuhan yang Maha Pemurah. Wahai Bapakku, sungguh aku khawatir bahwa engkau akan ditimpa azab dari Tuhan yang Maha Pemurah, maka engkau menjadi kawan setan’. Bapaknya berkata, ‘Apakah kamu benci kepada tuhan-tuhanku, Wahai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama’.” [QS Maryam: 42-46].
Keteguhan akidah Nabi Ibrahim jelas bertolak punggung dengan kemusyrikan ayah kandungnya. Persis kisah Nabi Musa (1527-1407 SM). Meski bukan anak kandung Fir’aun (1232-1224 SM), namun Nabi Musa telah dipungut raja durjana bernama Minephtah itu selama 18 tahun. Pertama melihat peti berisi bayi lelaki yang dipungut pembantunya dari sungai Nil itu, Fir’aun segera memerintahkan orang untuk membunuhnya. Tetapi, Fir’aun tidak mampu berbuat banyak, karena permaisurinya, Asiah, sangat menyayangi bayi mungil yang merupakan putra Yukabad itu. Sekali-kali tidak terlintas di benak Fir’aun bahwa kekejaman dan kepongahannya kelak akan berakhir di tangan seorang bayi yang justru diasuh dan dibesarkan dalam istananya.
Itulah kenapa ketika Nabi Musa dan Nabi Harun (1531-1408 SM) mendatangi Fir’aun untuk menyampaikan risalah dakwah dan membebaskan Bani Israil dari kekejamannya, Fir’aun tampak begitu geram. Dia merasa selama ini telah membesarkan anak singa yang kini bersiap menerkam dirinya. Kemarahan Fir’aun ini telah dikisahkan Allah dalam Al-Quran.
“Fir'aun menjawab, ‘Bukankah kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu. Dan kamu telah berbuat suatu perbuatan yang telah kamu lakukan itu, dan kamu termasuk golongan orang-orang yang tidak membalas guna’.” [QS Asy-Syuara: 18-19].
Makna dari semua kisah di atas tentu saja keimanan merupakan hidayah dari Allah semata, bukan warisan dari nenek moyang. Kewajiban kita adalah terus berusaha dan berdoa, agar menjadi pribadi beriman sekaligus sanggup melahirkan generasi yang juga beriman kepada Allah. Semoga kita semua termasuk golongan hamba Allah yang selamat di dunia ini dan akhirat nanti.
*Penulis Buku ‘Menemukan Bahagia’. Email: [email protected]