Rabu 06 Nov 2013 20:42 WIB

Niqab di Inggris Dapat Dukungan

Rep: rosita budi suryaningsih/ Red: Damanhuri Zuhri
Cadar. Ilustrasi
Foto: .
Cadar. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON — Pemakaian niqab, pakaian bagi perempuan Muslim yang menutup dari atas ke bawah dilengkapi dengan cadar, menuai kontroversi. Namun, dukungan untuk membolehkan dipakainya pakaian model demikian di tempat umum terus datang.

Dukungan itu datang, antara lain, dari salah satu menteri yang Muslim, Baroness Sayeda Warsi. Menurutnya, pelarangan pemakaian niqab sama halnya dengan pelarangan pemakaian rok mini di Inggris pada 1960.

“Setiap orang punya hak untuk memakai apa pun yang sesuai dengan keinginan mereka di negara ini,” ujar menteri Muslim pertama di Inggris ini kepada The Telegraph, Selasa (4/11).

Menurut Warsi, tidak perlu ada aturan yang memberi tahu apa saja yang harus warga kenakan ketika berada di tempat publik. Model rambut harus diatur, perhiasan apa yang dipakai, atau pakaian apa yang harus mereka kenakan.

“Beberapa dekade yang lalu, terjadi juga kasus seperti ini. Namun, akhirnya para perempuanlah yang menang. Mereka mendapatkan hak atas kebebasan yang mereka perjuangkan,” ujarnya. Pemakaian niqab ini, kata Warsi, sama dengan kasus pelarangan rok mini pada 1960-an itu.

Lama-kelamaan, nantinya para pria pun akan mengalah dan mengizinkan pakaian yang sesuai dengan pilihan masing-masing perempuan. Untuk itu, jangan sampai pelarangan pemakaian niqab ini berlangsung terlalu lama.

Komentar Warsi ini meluncur ketika ia mengikuti diskusi bersama para politikus terkemuka yang membahas tentang pembatasan pemakaian niqab di tempat publik, seperti di rumah sakit, sekolah, dan tempat lainnya. Hal ini masih menjadi perdebatan di parlemen tentang pelarangan wajah yang ditutupi oleh cadar.

Sebuah rancangan undang-undang (RUU) telah diusulkan oleh Philip Hollobone, salah satu anggota parlemen yang konservatif. Ia bersikeras membuat larangan bagi seseorang yang mengenakan pakaian atau benda lain yang dimaksudkan untuk mengaburkan wajah mereka di tempat umum.

Sebelumnya, sekitar 2006, mantan sekretaris Partai Buruh memicu kontroversi karena menuntut warga yang memakai cadar di wajah untuk melepasnya ketika ingin bertemu dengannya.

Pemakaian niqab masih menjadi perdebatan pelik di negara ini, berbeda dengan jilbab yang telah dibolehkan untuk dipakai. Mayoritas ulama berpendapat pemakaian cadar pada perempuan Muslim itu hukumnya tidak wajib.

Meski Islam menjadi minoritas di negara ini, jumlahnya tidak bisa dipandang sebelah mata. Kini, umat Islam mencapai 2,7 juta jiwa di negara kerajaan itu.

Warsi pun tetap teguh pada pendiriannya. Baginya, merupakan sebuah kebebasan bagi seorang perempuan untuk mengenakan pakaian yang sesuai dan membuatnya nyaman di depan publik.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement