REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Prof Yunahar Ilyas
Pada suatu sore saya diajak teman bertamu ke rumah seorang penyair. Penyair itu sedang semangat-semangatnya belajar bahasa Arab.
Bahkan dia mengambil waktu satu tahun penuh belajar bahasa Arab di salah satu pusat bahasa di Timur Tengah. Sementara teman saya itu, waktu belajar di Riyadh, memang mengambil diploma khusus pengajaran bahasa Arab.
Ditemani teh panas dan panganan kecil kami berbincang serius tentang bagaimana sebaiknya belajar bahasa Arab yang efektif dan cepat. Untuk yang pertama cukup banyak tawaran metodologi. Metode mana pun yang dipakai dapat efektif.
Tetapi untuk yang kedua, yaitu cepat, memang sulit. Umumnya belajar bahasa Arab memakan waktu yang panjang, bertahun-tahun. Apalagi untuk menguasai semua kemahiran bahasa, seperti membaca, menulis, berbicara dan mengarang.
Tidak terasa sudah lebih satu jam kami berbincang. Dari masjid di kawasan itu, terdengarlah suara azan Maghrib dikumandangkan. Kami bersiap untuk shalat berjama'ah.
Setelah semua mengambil wudhu', sang penyair sebagai tuan rumah, membentangkan sajadah di ruang tengah. Lalu mengganti lampu dengan cahaya yang lebih temaram. Cahaya yang terang benderang, di mata sang penyair mengurangi kekhusyukan.
Sesuai dengan tuntunan shalat berjamaah, shâhibul bait lebih utama jadi imam. Maka kami daulatlah sang penyair menjadi imam. Makmumnya kami berdua dan isteri beliau. Rakaat pertama dimulai.
Sang penyair membaca al-Fatihah dengan penuh perasaan. Ayat demi ayat dibaca dengan fasih, tartil dan diikuti segenap jiwa. Sampailah kemudian bagian membaca ayat-ayat Al-Qur'an. "Qulillahumma mâlikal mulki tu'til mulka man tasyâ'u wa tanzi'ul mulka mimman tasyâ'…."
Sang penyair mulai terisak. Tidak hanya dalam membaca puisi dia sering menangis, tetapi juga membaca firman Allah dalam shalat. Pasti dia menghayati betul makna ayat yang dibaca: "Katakanlah: "Ya Allah yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki."
Setelah berhasil menahan tangisnya, sang penyair melanjutkan: "wa tu'izzu man tasyâ' wa tudzillu man tasyâ'.." (Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki). Kali ini dia tidak bisa menahan tangisnya.
Barangkali sang penyair membayangkan bagaimana nasib seseorang bisa berobah dengan cepat. Pagi masih dimuliakan, tetapi malamnya sudah dihinakan. Hari ini masih berkuasa, besok sudah dipenjara. Betapa mudahnya bagi Allah SWT membalikkan segala sesuatu.
Setelah berhasil menahan isaknya, sang penyair menutup bacaan ayat yang tinggal dua kalimat lagi: "Biyadikal khair, innaka 'ala kulli syaiin qadîr" ( di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu). "Allahu Akbar!" Sang imam ruku', kami juga ikut ruku' mengikuti imam.
Kepekaan hati, kehalusan jiwa, ditambah dengan pemahaman makna ayat-ayat yang dibaca, apalagi didukung oleh cahaya yang temaram, rupanya dapat menambah kekhusyukan.
Sang penyair beruntung, terlatih membaca puisi dengan sepenuh jiwa, membuatnya mudah menghayati sedalam-dalamnya makna ayat yang dibaca. Bârakallahu fîh.