REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) menaikan BI Rate menjadi 7,5 persen dengan tujuan mengurangi defisit transaksi berjalan. Pengamat menilai langkah tersebut tidak akan berhasil, apalagi mengurangi impor minyak dan gas, beban utama dalam transaksi berjalan.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Erani Yustika, mengatakan selama ini BI Rate tidak terbukti dapat mengurangi defisit transaksi berjalan. "Tidak ada hubungan yang kuat antara kenaikan BI Rate dan transaksi berjalan," ujar Erani, Rabu (13/11).
Alih-alih memperbaiki transaksi berjalan, Erani mengatakan, kenaikan BI Rate akan mengganggu sektor riil dan menurunkan investasi. "Seandainya problem transaksi berjalan bisa ditanggulangi tapi korbannya pertumbuhan ekonomi dan investasi, itu artinya menyelesaikan masalah dengan masalah baru," ujarnya.
Menurut dia, cara terbaik untuk mengatasi defisit transaksi berjalan dan impor migas adalah dengan kebijakan dari pemerintah, misalnya dengan kebijakan harga minyak, impor, diversifikasi pasar dan meningkatkan daya saing ekonomi nasional.
Ia mengatakan saat ini waktunya pemerintah untuk melakukan pekerjaannya. "BI merasa sendirian, makanya BI mengambil langkah ini. BI tidak salah, tetapi BI seharusnya bilang ke pemerintah kalau ini adalah tugas pemerintah," ujarnya.
Ia juga mengatakan bahwa kenaikan BI Rate bisa jadi merupakan sinyal politik dari BI bahwa pemerintah tidak bekerja.