REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rosita Budi Suryaningsih
Ia menyukai Islam karena melarang penindasan pada kelompok tertentu.
Sakinah Rasheed lahir pada 1950 di Ohio, Amerika Serikat. Masa ini adalah masa yang berat bagi orang berkulit hitam seperti dirinya.
Dia adalah Afro-Amerika dan pada tahun-tahun tersebut sikap rasisme Amerika pada orang berkulit hitam masih terjadi. "Kami dianggap budak dan tak pantas bergaul dengan orang kulit putih," ujarnya, dilansir dari ifoundislam.
Rasheed dibesarkan dalam keluarga Kristen. Setiap minggu, ia pergi ke gereja bersama ibunya di gereja yang diperuntukkan bagi orang berkulit hitam.
Saat tinggal di Ohio tersebut, ia tak banyak menemukan kawan yang sama-sama berkulit hitam. Kaumnya menjadi masyarakat minoritas.
Saat remaja, ia selalu mendapatkan perlakuan rasisme oleh orang kulit putih. Hal itu juga banyak dilakukan teman sebayanya yang berkulit putih.
Ia selalu mendapatkan stigma bahwa ia adalah keturunan Afrika yang hanya pantas menjadi budak dan anggota dari kelompok tertindas.
"Saya tak terima dengan citra semacam ini. Ini seperti konspirasi untuk menindas kaumku secara psikologis," katanya.
Televisi setiap harinya, selalu menayangkan tayangan rasisme, penindasan pada orang-orang berkulit hitam, kerusuhan yang dilakukan orang berkulit hitam, pembunuhan Martin Luther King, dan banyak lagi tayangan rasisme yang membuat jiwanya semakin sakit. Hingga, akhirnya ia membaca buku The Autobiography of Malcolm X.
Dari situ, ia mengenal Islam dan tertarik dengan agama yang tidak pernah membeda-bedakan ras manusia tersebut.
"Meski saat itu saya belum sepenuhnya mantap masuk Islam, tapi saat membaca buku tersebut saya punya keinginan agar suatu saat apabila saya diberikan jalan pada Islam, saya ingin menjadi sosok Muslim seperti Malcom X," ujarnya.
Ketika menuntut ilmu di perguruan tinggi, hari-harinya disibukkan dengan membanding-bandingkan agama apa yang menurutnya terbaik.
"Satu hal yang aku sukai dari Islam adalah tidak menyukai adanya penindasan pada kelompok tertentu dan tidak membeda-bedakan kelas sosial," katanya.
Saat sedang membanding-bandingkan agama ini, justru mengarahkannya pada kebingungan. Akhirnya, ketika ia duduk di bangku pascasarjana dalam bidang psikologi, pamannya memberikan sebuah Alquran. "Ia memberikan Alquran ini dan mengatakan saya punya karakter sebagai orang Muslim," ujarnya.
Karena masih dalam pencarian kebenaran dalam semua agama tersebut, ia pun mulai membaca Alquran dan terjemahannya agar tahu apa saja yang tertulis di dalamnya.
Pada 1976 Rasheed bertemu dengan kawannya yang telah menjadi mualaf Elijah. Dialah yang kemudian menjelaskan tentang unsur-unsur dalam Islam, seperti rukun Islam, apa manfaat Alquran, puasa, juga bacaan-bacaan shalat.
Elijah dan suaminya bisa dengan sabar menjawab pertanyaan yang diajukannya. Bahkan, jawaban yang diberikan lebih memuaskan daripada jawaban dari ibunya atau pastor dari gerejanya.
Setiap mendapatkan jawaban atas rasa ingin tahunya yang besar pada konsep dari kehidupan dan kematian, ia selalu bisa tersenyum dengan puas.
Rasa gembira pun dirasakannya karena ia merasa lega semua pencariannya selama ini terjawab sudah. Ia akhirnya mantap masuk Islam pada tahun tersebut.
Kemudian, ia menjelaskan tentang pilihan terpenting dalam hidupnya ini pada ibu dan keluarganya. Ia selalu mengatakan, Allah dalam Alquran tidak pernah menyatakan untuk memusuhi agama Kristen dan agama yang lainnya.
"Bertahun-tahun kemudian, sebelum ibu saya meninggal, saya bersyukur telah bisa membuatnya menjadi mualaf juga," katanya.
Rasheed menyukai Islam karena merasa nyaman. Dalam hatinya, ia selalu yakin inilah jalan yang paling benar untuk mendapatkan rasa bahagia di dunia dan termpat terindah di surga ketika ia meninggal nanti.
Menurutnya, ia bisa merasa bahagia karena ini merupakan hasil dari ibadah yang selalu dilakukannya. Ia sangat mencintai keluarganya, juga anak-anaknya yang telah memeluk Islam.
Dalam pekerjaannya sebagai terapis psikologi, ia merasa beruntung bisa mendapatkan kesempatan emas tersebut karena bisa membantu orang lain menuju ke jalan yang benar menuju Allah.
Di luar pekerjaan profesionalnya, ia juga menjadi relawan untuk mengarahkan jalan yang benar pada para pemuda Muslim yang murtad. "Saya membantu orang lain untuk meningkatkan iman mereka, saya merasa ini berkah," ujarnya.