REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Fuji Pratiwi
Kelebihan hasil usaha dan kotak amal disimpan sebagai dana abadi.
Sejumlah lini bisnis dibangun beberapa pengurus masjid. Pendapatan yang diperoleh untuk menopang biaya operasional masjid.
Membuat tempat ibadah ini tak sepenuhnya menggantungkan bantuan dana dari pihak luar. Sebaliknya, menjelma sebagai entitas yang mandiri.
Masjid Agung Sunda Kelapa, Jakarta, memanfaatkan sebagian lokasinya untuk disewakan. Salah satunya, sebagai tempat galeri anjungan tunai mandiri (ATM). Menara masjid pun tak tersia-siakan. Provider telepon seluler menyewanya untuk kepentingan mereka.
Menurut Ketua Dewan Pengurus Masjid Agung Sunda Kelapa HM Aksa Mahmud, lini bisnis tak sebatas itu. Pengurus menghimpun khutbah Jumat dalam setahun. Lalu, membukukannya dan menjualnya kepada jamaah. “Per eksemplar Rp 60 ribu,” katanya, Senin (20/1).
Setiap tahun, dua hingga tiga kumpulan khutbah Jumat bisa diterbitkan. Khatib yang umumnya para mubaligh hebat menjadi daya tarik tersendiri bagi jamaah untuk membelinya. Bahkan, ada seorang jamaah yang membeli 100 eksemplar tiap terbitan.
Buku-buku itu, kata Aksa, dikirimkan ke kampung jamaah tersebut agar dibaca khatib di sana. Dengan demikian, khatib di kampung bertambah ilmunya. Wawasannya semakin luas. Kumpulan ceramah Dhuha dan Subuh juga dibukukan.
Saat ini, pengurus sedang membenahi stasiun radio masjid. Sudah ada satu bank syariah yang beriklan. Aksa berharap, setelah beroperasi radio tersebut bisa membiayai dirinya sendiri, selanjutnya berkontribusi untuk masjid. Seperti, sekolah yang dioperasikan pengurus masjid.
Pada 2012 sekolah itu masih disubsidi dan mandiri setahun berikutnya. Pada 2014 diharapkan sudah ada kontribusi yang diperoleh dari sekolah yang dioperasikan masjid. “Kami menjalankan usaha yang bermanfaat dan halal.”
Aksa mengatakan, semua usaha produktif. Bila digabungkan dengan hasil kotak amal Jumat, bisa mencapai surplus Rp 1 miliar. Tahun lalu, surplus menembus angka Rp 2 miliar setelah ditambah sedekah dari jamaah.
Aksa pun membagi kiat mengelola masjid yang sarat lini bisnis ini. Setiap bidang dalam kepengurusan masjid, ujar dia, diserahkan kepada ahlinya. Ia mencontohkan, kepala bidang usaha diserahkan kepada Ismed Hasan, direktur utama PT Rajawali Nusantara Indonesia.
Ismed merangkap jabatan sebagai sekretaris masjid. “Nabi sudah mengatakan, tempatkan orang yang ahli di bidangnya,” kata Aksa menegaskan. Dan, seluruh hasil usaha digunakan untuk membiayai kegiatan masjid.
Alokasinya termasuk untuk membayar gaji imam dan seluruh karyawan masjid. Saat ini, gaji mereka sudah di atas upah minimun regional (UMR) di Jakarta yang besarnya Rp 2,4 juta. Bahkan, mereka memperoleh gaji ke-13 dan 14.
Kelebihan dana yang ada masuk ke dalam pos dana abadi. Aksa menyatakan, dana abadi yang kuat membuat masjid sepenuhnya mandiri. Saat ini, ujar dia, Masjid Agung Sunda Kelapa dapat dikatakan mandiri meski tak sepenuhnya.
Sebab, masih ada sokongan dana dari kotak amal jamaah. Besarnya antara Rp 15 juta hingga Rp 20 juta setiap Jumat. Masjid Al-Ikhlas, Jatipadang, Jakarta Selatan, menempuh jalan yang sama. Mereka mendorong kemandirian melalui unit usaha.
Masjid Al-Ikhlas memiliki koperasi, aula, toko yang disewakan, serta menjadi perantara pasar jamaah. Menurut Sekretaris Masjid Al-Ikhlas Rahadi Mulyanto, di antara semua usaha yang dijalankan, penyewaan lima toko menjadi lumbung dana terbesar.
Setiap tahun, uang sewa yang diperoleh sebesar Rp 67 juta. Rahadi mengatakan, pengelolaan sewa toko relatif sederhana. Pengurus tinggal menawarkan ke jamaah yang berminat menyewa. Harganya berkisar Rp 12 juta atau Rp 14 juta per tahun. “Sesuai ukuran toko.”
Toko di kompleks masjid letaknya strategis. Ini membuat banyak konsumen yang datang. Sejauh ini, penggunaan toko masih terbatas untuk jual beli nonkuliner. Pertimbangannya, jelas Rahadi, untuk menjaga kebersihan masjid.
Usaha kuliner coba difasilitasi masjid melalui pasar jamaah. Termasuk, memfasilitasi jamaah yatim dan dhuafa yang mau berusaha kuliner. Ia mengatakan, pengurus tak mengambil keuntungan apa pun dari pasar jamaah ini.
Di pasar jamaah, masjid hanya menjadi perantara jamaah yang membutuhkan barang atau jasa dengan jamaah lain yang menyediakan barang atau jasa yang dibutuhkan.
Rahadi mengatakan, hasil usaha dipakai membiayai program dari empat bidang, enam badan otonom, dan sekretariat pengurus Masjid Al-Ikhlas. Empat bidang itu, antara lain, pendidikan, pelatihan, dan pengembangan.
Sementara, badan otonom menjalankan program seperti pelayanan kesehatan dan remaja masjid. Menurut Rahadi, tahun ini pengurus akan fokus pada pasar jamaah. Dalam rapat kerja pada Februari 2014, akan ada pembicaraan mengenai pasar jamaah online.
“Dulu, dilakukan via telepon dan arisan. Nanti, akan kami coba dengan cara online,” kata Rahadi. Melalui cara baru ini, pelaku dan pasarnya akan dibuat lebih besar. Saat ini, pelaku yang bergabung dalam pasar jamaah baru berjumlah 80 orang.