REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Konferensi Jenewa II masih berjalan alot. Perundingan antara kubu Pemerintah Bashar Al-Assad dan kelompok oposisi masih belum menemukan jalan tengah untuk membentuk pemerintahan transisi.
Sejumlah kalangan mengaku pesimistis atas hasil perundingan yang digelar di Montreux, Swiss, itu. Menurut Shashank Joshi, peneliti pada the Royal United Services Institute (RUSI) London, sedikitnya ada enam faktor yang memungkinkan perundingan ini tidak ada artinya meski disponsori oleh dua negara adidaya, AS dan Rusia.
Pertama, terkait faktor psikologis. Joshi mengatakan, secara psikologis pemerintah dan oposisi Suriah masih jauh dari rasa kelelahan akibat perang. Hal ini berbeda dengan perundingan untuk mengakhiri perang Bosnia yang menghasilkan Dayton Accords pada 1995.
"Rakyat Bosnia sudah lelah berperang dan mereka hanya ingin kompromi, perdamaian," kata Joshi dalam kolomnya di Aljazeera, Jumat (24/1).
Kedua, faktor sikap keras kedua kubu Suriah. Dalam hal ini, Assad berkeras tidak akan mundur ketika pemerintahan transisi dibentuk, sementara oposisi menginginkan Assad berhenti. Transisi tanpa Assad menjadi kata mati bagi kaum oposisi.
Ketiga, faktor keterpaksaan perundingan. Kubu oposisi terpaksa mengikuti perundingan ini atas desakan negara-negara sponsor mereka. Sebetulnya mereka khawatir karena kaum ekstrem oposisi tidak setuju dengan segala perundingan yang melibatkan rezim Assad.
Jika mereka menolak mengikuti perundingan, maka negara-negara donor tidak akan lagi memberikan bantuan finansial dan senjata. Sebaliknya, jika oposisi ini tetap mengikuti perundingan, ancaman dari kaum ekstrem di dalam negeri Suriah makin terbuka.
Keempat, faktor solusi yang penuh fantasi. Joshi menegaskan, ide-ide pembentukan pemerintahan transisi dan segala detailnya adalah fantasi belaka. Ini seperti pembicaraan sepihak tanpa melihat kondisi riil yang berkecamuk di dalam negeri Suriah.
Kelima, faktor kepentingan-kepentingan sponsor. Masing-masing negara sponsor membawa kepentingan yang saling bertentangan. Para sponsor juga telah menjadi "die hard-nya" masing-masing kubu. Kepentingan ini ikut bersedia besar atas hasil fantasi perundingan Jenewa II.
Keenam, faktor terpecahnya oposisi. Joshi mengatakan, oposisi yang tidak kompak dan membawa kepentingan sendiri menyebabkan sia-sianya perundingan ini.
Bahkan, kubu oposisi yang memiliki akar rumput kuat di Suriah tidak hadir pada perundingan ini. Menurut Joshi, ini semakin memantapkan pandangannya bahwa perundingan Jenewa II tidak akan membawa banyak kebaikan di Suriah.