Oleh: Afriza Hanifa
Sejak berdiri, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) fokus dalam tiga kegiatan, yakni pembangunan masjid untuk menghidupkan masjid sebagai pembelajaran Islam, seperti masa Rasulullah, penerbitan brosur, majalah, hingga buku yang menyebarkan dakwah Islam lewat tulisan.
Dan, yang terpenting pengiriman dai ke setiap penjuru nusantara. Dalam hal pengiriman dai, DDII telah membina umat Islam di pedesaan, pedalaman, dan daerah transmigrasi sejak era M Natsir.
Hal tersebut dilakukan sebagai pembenteng umat dari berbagai pengaruh pendangkalan akidah dan pemurtadan. Para dai biasanya direkrut dari masyarakat desa. Mereka kemudian dididik, dilatih, dan dibekali ilmu.
Melalui pengiriman dai ini, diharapkan umat Islam yang berada di daerah-daerah tersebut dapat terbina keimanan dan keislamannya.
“Akidah dan keyakinan mereka dapat dibentengi dari berbagai pengaruh negatif dari luar, baik pengaruh ajaran nativisme (ajaran yang digali dari bumi sendiri), maupun pengaruh misionaris Kristen yang dewasa ini cukup pesat perkembangannya,” ujar Thohir Lut dalam bukunya, M Natsir, Dakwah dan Pemikirannya.
Sang pendiri, M Natsir, pun selama memimpin DDII memberikan contoh dalam dakwah di pedalaman. M Dzulfikriddin dalam Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia mengatakan, berkenaan dengan kegiatan dakwah, Natsir sering berpergian ke daerah-daerah untuk mengunjungi umat dan mengetahui permasalahan yang mereka hadapi.
Hal tersebut dilakukannya hingga tubuh tuanya tak sanggup lagi melakukan perjalanan dakwah. “Setelah dia bertambah lanjut usia dan acap kali masuk rumah sakit maka umatlah yang datang mengunjungi Natsir di rumahnya atau di kantor DDII.”
“Mereka berasal dari berbagai lapisan masyarakat, mulai pemimpin dan pejabat negara, sampai pedagang kecil dan petani miskin. Semuanya diterima Natsir tanpa membedakan asal-usul dan status mereka,” kata Dzulfikriddin.
Hingga kini, keteladanan tersebut terus dilakukan. DDII menjadi corong lahirnya para dai yang siap tempur di medan apa pun, di daerah paling terkucil sekalipun. Laman daring Mediaumat.com mengabarkan, DDII disepakati para dai sebagai tempat untuk mengabdi kepada Allah.
Alhasil, bukan masalah kecilnya honor yang mereka dapat. Asalkan dapat sukses membina warga terpencil di pedalaman, mereka cukup bahagia dan bersyukur.
Bahkan, menurut Ketua Umum DDII KH Syuhada Bahri, honor para dai di daerah rata-rata 250 ribu per bulan. “Namun, hal tersebut tidak dirasakan sebagai sebuah duka atau kesengsaraan, tetapi justru mereka merasakan hal tersebut merupakan sebuah keberkahan,” katanya.
Ratusan, bahkan ribuan dai telah rela menjadi “utusan” demi mencari keberkahan tersebut. Mereka berdakwah ikhlas karena Allah semata. Tak hanya di pedalaman pulau Jawa, banyak dari mereka yang dikirim ke pedalaman pulau-pulau terpencil, termasuk wilayah timur, seperti Raja Ampat Papua, Pulau Halmahera Maluku Utara, Pulau Seram, Pulau Nias, dan masih banyak lain.
Di sana, para dai ini bahkan ikut membangun perekonomian masyarakat terpencil, seperti mengajarkan bersawah, berkebun, bahkan mengajarkan kesehatan di tengah minimnya fasilitas yang mereka dapatkan.