Oleh: Rosita Budi Suryaningsih
Di Keboncandi, Kholil menghidupi dirinya dengan menjadi buruh batik. Padahal, sebenarnya keluarga besarnya merupakan keluarga yang terpandang dalam hal ekonomi.
Sikap mandirinya juga ditunjukkan pada usahanya agar bisa menuntut ilmu agama di Makkah. Alih-alih minta ongkos kepada orang tuanya yang kaya, ia justru mengumpulkan uangnya sendiri dari sen ke sen.
Ia menjadi buruh pemetik kelapa, sering melakukan pekerjaan rumah tangga, seperti mencuci baju, mengisi bak mandi, serta masak untuk teman-teman santrinya. Dengan ini, ia bisa makan gratis walaupun seadanya sedangkan upah buruh memetik kelapa sebesar 2,5 sen setiap harinya ditabung untuk biayanya pergi ke Makkah nanti.
Pada 1859, saat usianya mencapai 24 tahun, Kholil akhirnya mampu untuk pergi ke Makkah. Ia belajar dari banyak guru agama di Masjidil Haram. Hingga akhirnya, ia merasa cukup dan pulang kembali ke Tanah Air. Setelah Kholil pulang, ia selanjutnya mendirikan pondok pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar satu kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya.
Di sinilah pendiri NU, KH Hasyim Asyari, menuntut ilmu darinya. Sebenarnya, mereka bertemu dan belajar ilmu agama bersama di Makkah, namun Hasyim Asyari menuakan Kholil dan menganggap ilmunya lebih tinggi sehingga sepulangnya ke Tanah Air, ia pun rela pergi ke Madura untuk belajar ilmu agama lebih dalam lagi.
Masa hidup Kholil selalu berhadapan dengan gejolak perlawanan rakyat pada penjajah. Namun, ia tak terjun langsung mengangkat senjata untuk melakukan perlawanan. Ia menempuh caranya sendiri, yaitu dengan jalur pendidikan.
Ia tidak melibatkan diri dalam medan perang, memberontak dengan senjata, tetapi mendidik para kader pemuda di pondok pesantren yang dibenamkan rasa perjuangan dan perlawanan pada penjajah.
Di pesantrennya, ia selalu mendidik para santrinya agar bisa menjadi pemimpin yang berilmu, berwawasan, tangguh, dan mempunyai integritas, baik kepada agama maupun bangsa. Ini dibuktikan dengan banyaknya pemimpin umat dan bangsa yang lahir dari tangannya. Kholil pun tak keberatan pesantrennya dijadikan tempat persembunyian.
Selain pendiri NU dan pendiri Pondok Pesantren Tebu Ireng, yaitu KH Hasyim Asyari, murid-murid Kholil lainnya yang menjadi ulama besar, di antaranya, KH Abdul Wahhab Hasbullah (pendiri Pondok Pesantren Tambakberas, Jombang), KH Bisri Syansuri (pendiri Pondok Pesantren Denanyar), KH Ma'shum (pendiri Pondok Pesantren Lasem, Rembang), KH Bisri Mustofa (pendiri Pondok Pesantren Rembang), KH As'ad Syamsul Arifin (pengasuh Pondok Pesantren Asembagus, Situbondo), dan banyak lagi.
Pada usia 106 tahun, tepatnya pada 29 Ramadhan 1341 Hijriyah atau 14 Mei 1923 Masehi, M Kholil berpulang. Meski ia telah tiada, dasar-dasar pendidikan dan pemikirannya telah tertoreh pada sejarah perjuangan bagi bangsa ini.