REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Inflasi Februari diperkirakan lebih rendah bila dibandingkan dengan Januari 2014. Bank Indonesia (BI) menilai penurunan ini sudah sesuai dengan tren selama lima tahun terakhir.
"Diharapkan bisa di bawah satu persen," kata Gubernur BI Agus DW Martowardojo usai melantik kepala perwakilan BI wilayah IX Sumatra Utara-Aceh di Medan, Jumat (28/2).
Agus menilai ada beberapa hal yang perlu diwaspadai terkait level inflasi, yaitu dampak nilai tukar dan iklim. Dampak pelemahan nilai tukar membuat harga barang meningkat karena kenaikan harga bahan baku. Hal ini, kata Agus, akan mendorong inflasi. Sedangkan iklim akan berpengaruh pada harga pangan.
Agus tidak menyebutkan berapa proyeksi inflasi untuk Februari. Namun, ia mengharapkan akan lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya.
Berdasarkan survey BI, inflasi Februari diproyeksikan berada di kisaran 0,03-0,04 persen. "Untuk tahunan akan diperkirakan di bawah delapan persen," kata Direktur Eksekutif Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Juda Agung.
Juda menambahkan, inflasi cukup rendah disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu apresiasi nilai tukar. Hal ini menyebabkan inflasi inti menjadi rendah.
Faktor kedua adalah fluktuasi harga makanan cukup rendah. Karena, adanya koreksi harga beberapa komoditas pascaerupsi Sinabung serta sudah masuknya impor bawang merah.
Secara historis, inflasi Februari memang rendah. Tahun lalu, inflasi Februari 0,75 persen. Inflasi Februari 2012 tercatat sebesar 0,05 persen dan inflasi Februari 2011 sebesar 0,13 persen. "Tahun lalu agak tinggi karena ada pembatasan impor hortikultura," kata Juda.
Menurut BI, cabai merah tidak memberikan dampak terhadap inflasi. Karena, kenaikan harga cabai baru terasa di akhir bulan. "Dari survei, cabai tidak mengalami inflasi yang berarti. Bahkan, cenderung lebih rendah dari Januari," kata Juda.