Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Bukankah kehidupan awal nenek moyang kemanusiaan kita di surga, lalu jatuh ke bumi merupakan sebuah penderitaan?
Bukankah kehidupan awal kita di dalam tempat paling aman dan nyaman (qarar al-makin)? Bukankah Tuhan kita Maha Pengampun dan Maha Penerima Tobat, bersedia memaafkan seluruh dosa dan kekeliruan masa lampau kita?
Bukankah kita membutuhkan penyucian diri sebelum memasuki Padang Mahsyar? Bukankah kita sejak lama mengimajinasikan surga? Bukankah kita termasuk paling takut dengan Neraka Jahanam?
Jika demikian adanya, wajar jika setiap Idul Fitri kita merestorasi kembali tatanan jalan kehidupan. Dengan kata lain, momentum Idul Fitri bisa dimaknai sebagai 'reinkarnasi' kehidupan spiritual kita.
Dalam pandangan tasawuf, fitrah berarti kembali ke jati diri yang paling asli (original soul). Jika seseorang betul-betul bersih dan penyucian dirinya diterima Allah SWT, yang bersangkutan bisa membuka berbagai tabir yang selama ini menghijab dirinya berupa dosa dan maksiat.
Dengan momentum Idul Fitri, seseorang bisa mengalami penyingkapan (mukasyafah), yakni menembus batas-batas langit dan langsung bisa mi'raj menuju Tuhan. Ia mempunyai kemampuan untuk mengakses alam gaib, minimal alam barzah, yaitu perbatasan antara alam nyata dan alam gaib.
Orang yang diberi kesadaran mukasyafah bisa merasakan kedekatan diri dengan Tuhan dan para sahabat Tuhan, seperti Nabi Muhammad dan para orang saleh lainnya. Ia tidak pernah merasa kesepian karena memiliki berbagai sahabat spiritual yang terdiri dari bukan hanya orang hidup, melainkan juga dengan para kekasih Allah (auliya' dan syuhada') yang arwahnya sudah wafat.
Mereka bisa proaktif berkomunikasi dengan siapa pun, termasuk orang-orang yang masih hidup di dunia, sungguhpun sudah wafat, sebagaimana diisyaratkan dalam ayat:
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (QS Yunus [10]:62-64).
Dalam ayat lain dikatakan: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (QS al-Baqarah [2]:154). “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” (QS Ali 'Imran [3]:169).