REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kalangan pengusaha pertambangan masih mencari solusi di balik sejumlah aturan turunan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Ketua Asosiasi Tambang Emas Indonesia (ATEI) Natsir Mansyur menyatakan forum pengusaha pertambangan, terdiri dari sejumlah asosiasi seperti ATEI dan Asosiasi Nikel Indonesia (ANI), telah mengajukan permintaan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan audit investigatif terhadap sejumlah kebijakan pemerintah seiring pelarangan ekspor mineral mentah 12 Januari 2014.
"Kemarin sudah saya sampaikan ke BPK. Permintaan kepada BPK itu bukan hanya terkait kerugian negara saja, tapi juga terhadap kebijakan pemerintah. Contohnya pada impor beras Vietnam beberapa waktu lalu," kata Natsir kepada wartawan saat ditemui di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Rabu (19/3).
Keempat beleid yang diminta pengusaha untuk diaudit adalah PP Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Kemudian, Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri, PMK Nomor 6/PMK.011/2014 tentang Perubahan Kedua Atas PMK Nomor 75/PMK.011/2012 tentang Penetapan Barang Ekspor Yang Dikenakan Bea dan Tarif Bea Keluar dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 4 Tahun 2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian.
Menurut Natsir, kebijakan hilirisasi mineral mentah harus dilakukan dengan cermat. Oleh karena itu, dibutuhkan rangkaian kebijakan yang tepat pula. Penolakan terhadap kebijakan hilirisasi mineral terus bergulir pascapelarangan ekspor mineral mentah 12 Januari 2014. Beberapa waktu lalu, Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) mengajukan uji materi terhadap UU Nomor 4 Tahun 2009 ke MK. Sebab, UU tersebut dianggap tidak sesuai dengan UUD 1945.