Oleh: Rosita Budi Suryaningsih
Dosen Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Negeri Gorontalo, Mohammad Karmin Baruadi, juga menjelaskan sejarah kerajaan Gorontalo dalam tulisannya yang berjudul Sendi Adat Dan Eksistensi Sastra: Pengaruh Islam Dalam Nuansa Budaya Lokal Gorontalo.
"Tokoh yang sangat berperan dengan pemikirannya yang religius Islami adalah istri Amai sendiri yang bernama putri raja Palasa," tulisnya.
Awalnya, saat Raja Amai ingin meminangnya, sang putri yang berasal dari kerajaan Islam di Sulawesi Tengah inipun mengajukan beberapa persyaratan.
Pertama, Sultan Amai dan rakyat Gorontalo harus diislamkan, dan yang kedua adat kebiasaan dalam masyarakat Gorontalo harus bersumber dari Alquran. "Dua syarat itu diterima oleh Amai. Di sinilah awal Islam menjadi kepercayaan penduduk Gorontalo," tulisnya.
Sebelum menikah Raja Amai mengumpulkan seluruh rakyatnya. Raja Amai dengan terang-terangan mengumumkan diri telah memeluk agama Islam secara sah dan kemudian meminta seluruh pengikutnya untuk melakukan pesta meriah.
Pada pesta tersebut Raja Amai meminta kepada rakyatnya untuk menyembelih babi disertai dengan pelaksanaan sumpah adat. Saat pendeklarasian sumpah tersebut, adalah hari terakhir rakyat Gorontalo memakan babi.
Usai proses sumpah adat, Raja Amai kemudian meminta rakyatnya untuk masuk Islam dengan membaca dua kalimat syahadat. Ia sendiri kemudian mengganti gelarnya dengan gelar raja Islam, yaitu sultan.
Prinsip hidup baru ini, mudah diterima oleh masyarakat Gorontalo saat itu, yang tidak tersentuh oleh Hindu-Buddha. Masyarakat merasakan bahwa tidak ada pertentangan antara adat dan Islam, namun justru memperkuat dan membimbing pelaksanaannya.
Pada 1550 M, Sultan Amai digantikan oleh putera mahkotanya, Matolodula Kiki. Sultan kedua kesultanan Gorontalo ini menyempurnakan konsep kerajaan Islam yang dirintis oleh ayahnya.
Ia pun melahirkan rumusan adati hula-hula'a to sara'a dan sara'a hula-hula'a to adati, atau yang artinya adat bersendi syarak, syarak bersendi adat. Islam dan adat, saling melengkapi.