Kamis 03 Apr 2014 19:03 WIB

Mendalami Sikap dan Pemikiran Hamka (1)

Acara bedah buku
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Acara bedah buku "Ayah" di Universitas al-Azar, Jakarta. Peluncuran buku karya Irfan Hamka tersebut bertutur tentang kisah hidup Buya Hamka.

Oleh: Rosita Budi Suryaningsih

Buya Hamka tak pernah mau berkompromi dengan masalah akidah.

Indonesia patut berbangga hati mempunyai sosok ulama multitalenta bernama Buya Hamka. Ia ahli dalam bidang agama, seorang sastrawan yang menelurkan karya-karya hebat, serta bisa menjadi seorang negarawan yang rela melakukan segalanya untuk bangsa dan tanah airnya.

Buya Hamka tak hanya dikenal sebagai ulama. Kontribusinya dalam perjuangan kemerdekaan, mengusulkan berdirinya pusat dakwah di jantung kota, menjadi ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama kali, dan menjadi sastrawan yang menghasilkan karya brilian patut dihargai.

Putranya, Afif Hamka, mengatakan sumbangsih ayahnya pada bangsa ini tak ternilai. Dalam kurun waktu yang sangat panjang, ia bisa mengabdikan dirinya pada bangsa ini menjadi seorang negarawan yang cinta pada tanah airnya. “Ia bisa berpadu dalam berbagai bidang, mendamaikan antarbidang tersebut jika terjadi perselisihan dan membinanya,” ujarnya.

Sebagai ulama, menurutnya, Buya Hamka selalu mengajak orang beragama secara cerdas. “Jangan hanya ikut-ikutan. Agama harus benar-benar dipelajari dan tumbuhkanlah kecintaan kepada Allah,” katanya.

Pandangan dan pemikiran seorang Buya Hamka patut untuk diteladani dan diteruskan oleh generasi penerus bangsa ini. Misalnya, konsep takwa, yaitu bagaimana kita berhubungan dengan Allah. “Ibadah itu bukan hanya sekadar ritual, namun tunjukkan apa yang telah kamu ucapkan, yaitu sumpah kepada Allah,” ujarnya.

Cendekiawan Muslim, Prof Kommaruddin Hidayat, menganggap bahwa Buya Hamka adalah seorang ayah spiritualitas baginya. Saat masih di pesantren dulu, ia banyak membaca karya-karya Hamka dan menurutnya untaian kata-kata dalam buku-buku Hamka merupakan inspirasi dalam kehidupan, yang tak lekang dimakan zaman.

“Salah satu yang masih saya ingat adalah Hamka menulis, jika ada sepuluh ekor sapi, sapi manakah yang paling baik? Tentulah sapi yang paling gemuk, besar, dan sehat. Namun, jika ada sepuluh manusia, mana yang paling baik? Tentulah pribadi yang menentukan,” ujarnya.

Kata-kata ini melekat kepadanya hingga sekarang, terus menempa dan mengingatkannya untuk selalu menjadi seorang pribadi yang lebih baik lagi. Dalam buku Ayah, tulisan putra Buya Hamka, yaitu Irfan Hamka, dijelaskan bagaimana perjuangan dan kontribusi apa saja yang telah ditorehkan Hamka untuk bangsa ini.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement