REPUBLIKA.CO.ID, BATAM -- Dewan Pimpinan Pusat Real Estat Indonesia (REI) akan kembali membahas perubahan aturan tentang kepemilikan properti oleh asing di Indonesia dengan pemerintah dalam waktu dekat sebagai persiapan sektor properti menghadapi AFTA 2015.
"Dalam periode ini memang belum dibahas. Dari dulu kami sudah memperjuangkan. Kami akan coba memulai lagi untuk memperjuangkan kepemilikan asing," kata Ketua Umum DPP REI Eddy Hussy di Batam, Rabu (16/4).
Ia berharap pemerintah segera memutuskan aturan tentang kepemilikan properti oleh warga asing di Indonesia mengingat pangsa pasarnya relatif besar. Menurut dia, kepemilikan properti oleh asing akan mampu mendatangkan devisa yang besar bagi negara, sekaligus merangsang masuknya investasi yang jauh lebih besar, karena adanya kepastian hukum untuk kepemilikan properti sebagai tempat tinggal pemilik modal. "Kalau ada kepemilikan properti, investasi yang masuk bisa lebih besar lagi," kata dia.
Apalagi, saat pelaksanaan ASEAN Free Trade Agreement yang memungkinkan warga negara ASEAN untuk kerja dan bertempat tinggal di Indonesia. REI tengah memikirkan konpensasi yang harus disertai dalam kepemilikan properti oleh asing, misalnya saja dengan pengenaan pajak atau BPHTB yang lebih besar ketimbang warga lokal. Itu dilakukan untuk melindungi warga negara.
Sementara itu, menurut dia, pemberlakuan aturan kepemilikan properti oleh warga negara asing sudah mendesak karena AFTA semakin dekat. Dari berbagai daerah di Indonesia, pangsa pasar kepemilikan properti oleh asing paling besar di DKI Jakarta, Bali dan Batam.
"Kota yang paling berimbas adalah DKI Jakarta dan Bali yang sudah banyak ekspatriat asing tinggal di sana. Dan ketiga ada Batam yang letaknya berdampingan dengan Singapura dan Malaysia," kata dia.
Khusus Batam, jika ketentuan itu diberlakukan, bisa menjadi kota penyangga dari Singapura. Seperti Bekasi atau Depok terhadap Jakarta. Warga negara asing bekerja di Singapura, namun tinggal di Batam.